Agustus 26, 2007
Harus Turun Mesin, karena Organ-Organ Saya Rusak Parah
( part 1 of 2 )
Dahlan Iskan, Email: iskan@jawapos.co.id, SMS: 081 331 313 373
Kadar protein
dalam darah saya yang tidak pernah bisa normal, kini menjadi sangat baik. Salah
satu unsur penting di protein itu, albumin, sejak liver saya diganti sudah
mencapai angka 3,6. Selama lebih dari 10 tahun saya hidup dengan kadar albumin
yang hanya 2,7. Padahal, normalnya paling tidak 3,2.
Rendahnya kadar
albumin membuat tubuh saya tak mampu membuang kelebihan air, baik dalam bentuk
keringat maupun kencing. Sehingga air yang berlebih ikut darah beredar ke
seluruh tubuh. Akibatnya, tubuh saya jadi "gemuk".
Karena itu, kalau
ada orang memuji badan saya terlihat lebih gemuk dan segar, dalam hati
sebenarnya saya menderita. Sebab, saya tahu, tubuh saya tidak sedang gemuk,
tapi bengkak!
Begitu liver
diganti dan albumin normal, badan saya langsung susut. Tapi tidak kuyu, melainkan
sebaliknya: lebih segar.
Dua hari pertama
pascatransplantasi, kencing saya bisa mencapai 10 liter sehari. Sebagian karena
memang banyak cairan yang masuk ke badan, sebagian lagi karena air yang tadinya
beredar bersama darah, sudah bisa dipisahkan oleh albumin dan dikirim ke
kandung kemih.
Platelet atau
trombosit saya, yang seharusnya minimal 200, pernah tinggal 55. Dengan platelet
serendah itu, saya terancam mengalami perdarahan dari mana pun: mulut, hidung,
lubang kemaluan, telinga, dan mata.
Untuk
menyelamatkan saya dari ancaman itu, dokter lantas memotong limpa saya hingga
sepertiga. Setelah limpa dipotong, platelet saya naik sampai 120. Sayangnya,
itu tidak lama. Perlahan-lahan angka itu menurun secara konstan. Terakhir
tinggal 70. Hampir sama dengan sebelum limpa saya dipotong.
Tapi, setelah
liver saya diganti, platelet saya langsung naik. Tiga hari lalu angkanya sudah
mencapai 260. Normalnya, antara 200 sampai 300.
Mengapa saya
memutuskan ganti liver? Tidakkah takut gagal? Mengapa liver saya sakit? Separah
apa? Bagaimana jalannya penggantian liver? Bagaimana mempersiapkan diri? Bahkan
sampai ke doa apa yang saya ucapkan? Semua akan saya tulis untuk berbagi
pengalaman dengan pembaca.
Cerita ini
mungkin akan agak panjang (bisa 50 hari). Bukan karena saya mau
berpanjang-panjang, tapi karena redaksi membatasi saya untuk menulis hanya
sekitar 1.000 kata di setiap seri.
Berikut saya
mulai dengan seri pertama ini. (Nama-nama dokter, rumah sakit, sengaja baru
akan disebutkan di bagian-bagian akhir tulisan):
***
Di umur 55 tahun
ternyata saya harus "turun mesin". Begitu parahnya kerusakan
organ-organ di dalam badan saya sampai harus pada keputusan menambal seluruh
saluran pencernaan saya, memotong sepertiga limpa saya, dan mengganti sama
sekali organ terbesar yang dimiliki manusia: liver.
Turun mesin
total itu harus diatur sedemikian rupa karena mesin yang sama harus tetap
menjalankan tugas sehari-hari, yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Maka,
saya pun mulai membuat jadwal turun mesin. Dimulai yang paling membahayakan
agar yang penting nyawa bisa selamat dulu.
Ternyata saya
memang terancam meninggal dunia dari tiga jenis penyakit. Yang pertama adalah
yang bisa membuat saya meninggal mendadak kapan saja tanpa penyebab apa pun.
Tiba-tiba bisa saja saya muntah darah dan tak tertolong lagi. Ini karena
seluruh saluran pencernaan saya, mulai tenggorok sampai perut sudah penuh
dengan varises yang menor-menor karena sudah matang dan siap pecah. Ibarat
kumpulan balon-balon kecil berwarna merah, yang kulitnya sudah tipis seperti
balon yang ditiup terlalu keras. Kapan meletusnya bisa setiap saat. Saat
meletus itulah orang akan muntah darah dan tak tertolong lagi.
Penyakit kedua,
yang bisa membuat saya meninggal dalam hitungan bulan adalah jumlah darah putih
saya yang terus merosot. Mengapa? Karena limpa saya sudah membesar tiga kali
lipat dari ukuran normal. Limpa yang tugasnya antara lain mengubur sel-sel
darah merah yang mati (dengan darah putih yang diproduksinya), tidak mampu lagi
berfungsi baik. Platelet saya yang seharusnya antara 200-300, hari itu tinggal
60. Itu pun dalam posisi terus menurun. Pada penurunan beberapa poin lagi, saya
akan menderita perdarahan dari mana saja: bisa dari hidung, dari telinga, dari
mulut, atau dari mata. Limpa sendiri bisa juga pecah karena sudah tidak kuat
lagi akibat terus membesar.
Yang ketiga, ya
liver saya sendiri, yang ternyata sudah amat rusak. Setelah liver saya dibuang
setahun kemudian, tampaklah nyata bahwa liver saya sudah seperti daging yang
dipanggang terlalu masak. Padahal, seharusnya mulus seperti pipi bayi. Ini yang
bisa membuat saya meninggal dunia dalam hitungan dua-tiga tahun. Bahkan,
sebenarnya liver itu yang membuat limpa saya membesar dan membuat seluruh
saluran darah di sepanjang pencernakan saya penuh dengan balon-balon darah yang
siap pecah.
Maka, satu per
satu harus saya selesaikan. Saya mulai dari mengatasi agar tidak terjadi muntah
darah. Lalu, setengah tahun kemudian memotong limpa saya. Dan, terakhir 6
Agustus lalu, beberapa hari sebelum ulang tahun ke-56 saya, saya lakukan
transplantasi liver: membuang liver lama, diganti dengan liver baru.
Semua proses itu
memakan waktu hampir dua tahun. Ini karena saya tetap harus menjalankan
aktivitas, baik sebagai pimpinan Grup Jawa Pos maupun sebagai CEO perusahaan
daerah Jatim yang lagi giat-giatnya membangun tiga proyek besar: pabrik
conveyor belt, gedung ekspo, dan shorebase.
Semua tahap itu
saya jalani dengan keputusan yang mantap, tanpa keraguan sedikit pun mengenai
kegagalan hasilnya. Banyak teman yang bertanya mengapa saya bisa tegas membuat
keputusan yang begitu membahayakan hidup saya. Saya jawab bahwa percaya
sepenuhnya dengan takdir -sesuai dengan tafsir yang saya yakini, yakni mirip
dengan uraian buku Saudara Agus Mustofa Takdir Itu Bisa Berubah.
Faktor lain
adalah bahwa rupanya, kebiasaan saya membuat keputusan berani, keputusan besar
dan keputusan yang cepat di perusahaan ikut memengaruhi keberanian membuat
keputusan dengan kualitas yang sama untuk diri sendiri. Lalu, keyakinan bahwa
saya mampu me-manage hal-hal yang rumit selama ini, tentu juga akan mampu
me-manage kerumitan persoalan yang ternyata ada di dalam tubuh saya.
Apakah tidak ada
kekhawatiran sama sekali akan gagal dan kemudian meninggal? Tentu ada. Tapi,
amat kecil. Saya tahu kapan harus ngotot dan kapan harus sumeleh. Keluarga saya
yang miskin dan menganut tasawuf Syathariyah sudah mengajarkan sejak awal
tentang sangkan paraning dumadi (dari mana dan akan ke mana hidup dan semua
kejadian). Ini membuat saya akan ngotot melakukan apa pun untuk berhasil, tapi
juga tahu batas kapan harus berakhir.
Tentu ada
penyebab lain: Banyak keluarga saya mati muda, sehingga saya pun seperti sudah
siap sejak kecil bahwa saya juga akan mati muda. Ibu saya meninggal dalam usia
36 tahun (muntah darah). Kakak saya, yang digelari agennya Nurcholish Madjid di
Jatim untuk urusan pembaharuan pemikiran Islam, meninggal dalam usia 32 tahun
(muntah darah). Dia sering memarahi saya, mengapa masih kecil sudah belajar
filsafat/tasawuf dan mengapa sering pergi ke pondok salaf. Tapi, tahun depannya
saya masih tetap ke pondok salaf Kaliwungu, 25 km sebelah barat Semarang.
Paman saya dan
pakde saya juga meninggal muda. Penyebabnya juga sama: muntah darah. Muntah
darah sebenarnya bukan penyebab, tapi begitulah orang di desa mengatakannya,
karena tidak tahu bahwa semua itu berawal dari persoalan liver.
Tapi, ada juga
sedikit harapan bahwa saya bisa berumur panjang: Bapak saya meninggal dalam
usia 93 tahun. Kakak tertua saya yang amat baik, Khosiyatun, yang juga ketua
umum Aisyiah Kaltim, kini berumur hampir 70 tahun dan masih aktif mengajar di
SD swasta di Samarinda. Entahlah, saya ikut yang mana. (bersambung)
August 27, 2007
Tiga Jam
Jelang Operasi Masih Ditawari ’Take Over’ Koran
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (2)
Mudah-mudahan
rencana operasi kali ini tidak gagal lagi. Yu Shi Gan Xian Sheng (nama saya di
Tiongkok), besok mendapat giliran operasi. Itu kata seorang dokter di rumah
sakit ini pada Minggu 5 Agustus 2007 kepada saya. Dia memakai istilah
“mudah-mudahan tidak gagal lagi” karena memang sudah beberapa kali saya diberi
tahu dapat giliran operasi, tapi selalu tertunda karena liver yang datang tidak
cocok untuk mengganti liver saya.
Kali ini
kelihatannya cocok. Golongan darahnya sama. Juga sudah dinilai akan memenuhi
syarat untuk ditransplantasikan ke saya. Harapan bahwa kali ini tidak gagal
lagi kian besar setelah sore harinya, petugas cukur datang ke kamar saya. Dia
harus mencukur rambut yang ada di badan saya, sebagai salah satu syarat dilakukannya
operasi besar. Tugasnya sore itu ringan sekali karena hanya perlu mencukur
rambut di sekitar kemaluan. Saya tidak punya rambut di dada atau di paha.
Saya lalu
membayangkan bagaimana dengan pasien yang punya bulu dada lebat dan cepat
tumbuh kembali. Misalnya, seperti yang banyak dimiliki pasien dari
negara-negara Arab.
Saya juga
membayangkan bagaimana kalau bulu dada itu cepat tumbuh, sementara luka akibat
sayatan yang panjang di situ belum menyatu kembali. Tapi, bayangan-bayangan
saya itu lenyap karena tiba-tiba tukang cukur menyatakan tugasnya sudah
selesai. Sebentar dan sederhana sekali tugasnya untuk saya malam itu.
Meski itulah
malam menghadapi operasi besar, saya tidak punya kekhawatiran apa-apa. Malam
itu saya tidur nyenyak sebagaimana biasa. Tidak punya perasaan galau sedikit
pun, meski saya akan menjalani penggantian organ terbesar dalam tubuh seorang
manusia. Sore sebelum tidur, saya potong rambut. Pendek sekali, nyaris gundul.
Saya ingin agar setelah operasi kelak, kalau mau cuci rambut lebih gampang.
Bangun pagi 6
Agustus 2007, saya bertanya kepada perawat kira-kira operasinya jam berapa.
Setidaknya jam berapa harus berangkat ke ruang operasi. Perawat belum bisa
menjawab. Memang jadwal transplantasi besar seperti ini tidak gampang dibuat.
Karena itu, saya
lantas mandi lebih bersih daripada biasanya. Saya tidak ingin ada kuman yang
menempel di badan saya yang akan menjadi penyebab infeksi setelah operasi.
Tentu ini kurang masuk akal, karena dalam proses operasi ada prosedur
sterilisasi di badan saya. Yakni, seluruh badan saya akan diolesi cairan
antiinfeksi yang biasanya berwarna merah kecokelatan itu.
Pagi itu saya
sudah tidak boleh makan apa pun. Perut harus kosong sejak malamnya. Namun,
sekitar pukul 09.00 perut saya masih harus dibesihkan dari kotoran dengan cara
dimasuki cairan bening sekitar seperempat liter melalui pantat. Kurang dari
lima menit kemudian saya lari ke toilet karena semua isi perut seperti mau
keluar.
Setengah jam
kemudian dilakukan lagi hal yang sama. Di toilet saya lihat tak ada lagi benda
apa pun yang keluar kecuali air bening yang dimasukkan tadi. Maka saat itu
dianggap perut saya sudah bersih. Beberapa sahabat penting saya di Tiongkok
datang. Terutama Mr Guo yang sejak 10 tahun lalu mengangkat saya sebagai adik
kelima, dan saya mengangkatnya sebagai kakak ketiga. Kakak pertama adalah
seorang pensiunan jenderal polisi yang juga tinggal di kota ini.
Pukul 09.30 saya
diberi tahu tentang kepastian operasi. “Bapak harus masuk ruang operasi pukul
14.00,” kata seorang perawat. Alhamdulillah, kata saya dalam hati. Kalau tidak,
bagaimana dengan rambut yang telanjur dicukur? Apa saya akan minta ditempelkan
lagi?
Prioritas saya
kemudian adalah menghubungi kantor, kakak saya yang di Samarinda, adik saya
yang di Madiun, dan beberapa pemegang saham. “Saya akan operasi jam 14.00
nanti,” tulis saya di sms.
Kepada kakak
saya yang di Samarinda, saya bicara langsung melalui telepon. Saya harus
hati-hati menjelaskannya. Itu kakak saya yang amat baik hatinya. Dia pernah
menyerahkan seluruh gajinya sebagai guru SD untuk biaya sekolah dan hidup saya
selama lebih dari lima tahun. Itu sebagai tanggung jawabnya karena dia harus
pergi meninggalkan kami tanpa ibu di Magetan untuk pergi ke Kaltim, ikut paman
saya. Dia merasa kasihan saya hidup dengan Bapak yang tidak punya penghasilan
tetap. Apalagi, masih ada satu adik lagi yang masih kecil. Di Kaltim dia harus
mengajar di dua sekolah agar masih punya penghasilan untuk hidupnya sendiri.
“Mbakyu, nanti
sore saya harus operasi,” kata saya. “Operasi apa?” tanyanya. Saya tidak berani
menjelaskan apa adanya, khawatir mengganggu pikirannya.
“Saya akan
operasi, agar tidak sampai terjadi seperti yang mengakibatkan ibu dan Mbak
Sofwati meninggal muda,” kata saya.
Mbak Sofwati
adalah kakak saya yang meninggal umur 32 tahun setelah muntah darah. Padahal,
dia kami jagokan sebagai tokoh keluarga. Orangnya pintar dan karirnya bagus.
Saat mahasiswa, dia jadi ketua Korps Himpunan Mahasiswa Islam Wanita Jatim.
“Ya, saya doakan
semoga berhasil,” katanya datar. Dia tidak saya beri tahu betapa berisikonya
penggantian liver ini.
Dalam waktu
sekejap sms pemberitahuan operasi itu rupanya menyebar, sampai ke anak
perusahaan. Mulai Aceh sampai Jayapura. Juga beredar di antara teman-teman. Ini
saya ketahui dari sms yang segera mengalir ke telepon saya.
Semua
mengirimkan doa untuk keberhasilan operasi saya. Bahkan, SMS dari Bambang
Sujiyono, seniman Surabaya itu, sangat dramatik. Dia kaget saya kok tiba-tiba
memberitahunya akan operasi besar. Dia menangis dalam SMS-nya.
“Allah,”
tulisnya, “Selamatkan nyawa rekan saya ini. Kalau perlu, tukar dengan kematian
saya.” Bambang memang orang yang sangat humanis. Dia sendiri dalam keadaan
sakit jantung.
Saya balas
tangisannya itu dengan tegar dan setengah guyon. “Mas Bambang, di rumah sakit
ini hampir tiap hari juga dilakukan operasi penggantian jantung,” tulis saya.
“Juga operasi
penggantian ginjal dan organ yang lain,” tambah saya. Lalu dia tidak emosional
lagi. Dia justru bertanya berat mana transplantasi ginjal dibanding liver.
“Transplantasi ginjal itu sekarang sudah dianggap biasa. Liver paling sulit,”
jawab saya.
Sekitar pukul
10.30 saya terima sms dari Jakarta. Seorang teman lama menawarkan agar saya
membeli tabloidnya yang mengalami kesulitan. Dia bilang, tabloid itu akan
sukses kalau di tangan saya. Saya balas sms itu, agar dia menunggu keputusan
saya beberapa minggu lagi.
Setengah jam
kemudian, teman lama yang lain, juga kirim sms. Isinya: apakah saya berminat
mengambil alih koran berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta? Saya jawab: saya
perlu informasi lebih lengkap, dan dia saya minta kirim email.
Tanpa tahu bahwa
saya segera memasuki meja operasi yang bisa memakan waktu 12 jam dan entah apa
hasilnya, seorang direksi saya di Jakarta menanyakan lewat sms apakah dokumen
tender listrik yang disiapkan sudah saya tanda tangani.
Sesaat sebelum
saya berganti baju dengan baju operasi, saya masih sempat membalas sms itu:
tidak perlu saya yang tanda tangan. Saya lantas memberi tahu siapa yang bisa
menggantikan tanda tangan saya. Lalu petugas pembawa baju operasi saya datang
membuka bungkusan sterilnya. (bersambung)
August 28,
2007
Banyak Yang
Doakan Panjang-Panjang, Saya Berdoa Pendek
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (3)
PUKUL 12.00
Senin (6/8) siang itu saya sudah diminta melepas baju saya, pertanda waktu
operasi sudah akan tiba. Diganti baju kertas biru muda. Kepala saya juga
dipasangi topi kertas dengan warna yang sama. Saya pun sudah siap mental segera
menuju ruang operasi di lantai 13.
Tapi, SMS masih
terus mengalir masuk. Teman-teman Jawa Pos, entah siapa yang punya inisiatif,
lagi berkumpul di rumah saya di belakang Graha Pena Surabaya. Mereka akan
melakukan sembahyang dan doa bersama. Saya segera menelepon Misbahul Huda,
Dirut Percetakan Temprina, yang akan menjadi imam pada acara itu. Saya minta
suara teleponnya dibesarkan. Agar, semua yang hadir di rumah saya bisa ikut
mendengar kata-kata saya. Setelah telepon siap, saya bertanya kepada yang
hadir: apakah ada pertanyaan? "Saya siap menjawab pertanyaan apa
pun," kata saya.
Salah seorang di
antaranya bertanya apakah saya dalam kondisi siap. Saya jawab, saya siap
sekali. Ada yang bertanya, kira-kira operasinya berlangsung berapa jam? Saya
jawab sekitar 12 jam. Memang begitulah yang dikatakan dokter kepada saya,
berdasarkan pengalaman mereka.
Ada lagi
beberapa pertanyaan dan harapan yang disampaikan dengan penuh suasana prihatin.
Untuk membuat agar suasana mereka tidak sedih, saya tutup pembicaraan saya
dengan kata-kata, "Sampai jumpa minggu depan." Maksud saya, kira-kira
saya perlu waktu satu minggu untuk bisa bicara lagi dengan teman-teman itu:
satu hari operasi (pasti saya tidak bisa bicara), tiga hari di ICU (juga pasti
belum bisa bicara), dan dua hari memulihkan badan. Genap satu minggu, saya
pikir, saya sudah akan bisa bicara lagi. Setelah tidak ada pertanyaan, telepon
saya tutup.
SMS terus
mengalir masuk. Dari Madiun menceritakan bahwa keluarga tasawuf sathariyah lagi
berkumpul untuk ber-zikir-pidak, yakni mendengungkan kata "hu"
bersama-sama sebanyak 99.000 kali. Tentu dengan sistem borongan. Artinya, kalau
yang mengucapkan lebih banyak orang, waktu yang diperlukan tidak perlu teralu
lama. Dengungan "hu" adalah hasil compression (untuk meminjam istilah
software komputer) dari kalimat syahadat. Kalau di-decompression, kata
"hu" itu akan menjadi kalimat panjang: aku bersaksi tidak ada Tuhan
selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusam Allah. Mungkin,
kalau harus mengucapkan kalimat yang begitu panjang sebanyak 99.000 kali dirasa
akan memakan waktu yang lama sekali, sehingga perlu di-compress menjadi satu
dengungan "hu" saja. Siapa menyangka bahwa zikir pun sejak dulu sudah
di-compress seperti itu.
Tapi, sistem
compression zikir seperti inilah yang banyak dikecam aliran tasawuf lain dan
terutama oleh kalangan syariah formal. "Kalimat syahadat kok
dipadatkan," kata mereka. Ini seperti juga Bung Karno yang dikecam telah
menyelewengkan kemurnian Pancasila yang dia temukan sendiri. Yakni, ketika Bung
Karno meng-compress Pancasila yang panjang itu menjadi satu kata yang simpel
dan pas: gotong royong.
SMS juga masuk
dari teman-teman Kristen dan Katolik. Mereka mengirimkan doa-doa yang saya
ketahui diambilkan dari Alkitab. Ibu Eric Samola, istri mendiang Pak Eric
Samola, yang dulu punya inisiatif mengambil alih Jawa Pos dari keluarga The
Chung Shen, mengirimkan doa paling panjang.
Tokoh Buddha
Surabaya juga mengirim SMS dan memberitahukan bahwa hari itu berkumpul lebih
1.000 penganut Buddha di shi mian fo (Buddha empat wajah) di Kenjeran. Mereka
akan berdoa terus selama saya dioperasi. Karena itu, dia minta dikabari kalau
operasi sudah selesai. Kalau tidak, doanya tentu tidak akan dihentikan. Saya
berpesan kepada istri agar jangan lupa memberi tahu mereka nanti. Tempat ibadah
itu memang saya yang meresmikan beberapa tahun lalu.
Teman-teman dari
penganut aliran kebatinan Sapta Dharma juga mengirim SMS, bahwa siang itu
200-an tokohnya berkumpul di Pujon, Malang. Mereka melakukan doa berdasar
kepercayaan mereka untuk keberhasilan operasi saya. Demikian juga penganut
aliran Sai Baba, mengirimkan doa panjang yang biasa diucapkan Sai Baba di India
sana.
Pukul 14.00
kurang 15 menit, kereta brankar sudah datang dengan beberapa orang yang berbaju
biru muda. Itulah petugas ruang operasi. Saya harus segera berbaring di kereta
itu. Sebenarnya saya bisa berjalan sendiri ke ruang operasi. Badan saya sangat
sehat. Tapi, peraturan tidak membolehkannya.
Saat saya sudah
berbaring di kereta, Pak Mustofa, akuntan terkemuka Surabaya, telepon minta
bicara. Ternyata, dia lagi makan siang dengan para pengusaha teman saya di
Hotel Shangri-La Surabaya. Lalu, saya beri tahu bahwa saya sudah tidak punya
waktu bicara. Saya sudah di atas kereta yang siap berangkat ke ruang operasi.
Pak Alim Markus, yang rupanya ikut makan siang, memaksa bicara untuk memberi
dorongan semangat agar saya kuat memasuki ruang operasi. Alim Markus juga
pernah tiba-tiba sakit yang amat membahayakan hidupnya. Tapi, semangatnya untuk
sembuh luar biasa. Saya sering mengatakan padanya, semangatnya itulah yang ikut
mendorong saya punya semangat yang sama.
Istri saya terus
komat-kamit. Rupanya berdoa dengan serius. Anak laki-laki saya sibuk memotret.
Saudara angkat saya, Mr Guo dan sahabat karib saya Robert Lai dari Singapura,
memegangi tangan saya. Kereta pun didorong keluar dari ruang saya di lantai 11
untuk dibawa ke lift naik ke lantai 13. Ketika melewati kamar pasien dari
Jepang, dia terlihat mengepalkan tangan ke arah saya, tanda ikut memberi
semangat.
Tak sampai 5
menit saya sudah tiba di lobi lantai 11, di depan lift yang akan membawa saya
ke lantai 13. Ada lima lift di situ. Dua lift ukuran normal, tiga lift ukuran
besar untuk mengangkut kereta pasien. Lift terbuka, tombol 13 dipencet, panah
naik menyala. Zoom! Tibalah saya di lantai 13.
Istri, anak,
saudara angkat saya, dan Robert Lai mengantar ke lantai 13, tapi hanya bisa
sampai di pintu tertentu. Setelah itu semua harus melepaskan tangan dari tubuh
saya. Mata istri saya kelihatan sembap. Juga mata Robert Lai.
Robert Lai
adalah orang yang rajin berpesan kepada siapa pun, agar saat mengantar saya ke
lantai 13 nanti, jangan ada yang menangis. Juga jangan ada yang mengeluarkan
air mata. Tapi, saya lihat dia sendiri ternyata terisak-isak ketika melepas
saya untuk dibawa petugas ke tempat yang dia tidak bisa lagi menyertai saya.
Sambil menahan
tangis, dia akhirnya berteriak: "jia you!" tiga kali. "Jia"
artinya tambah. "You" artinya bensin. Tapi, "jia you" dalam
bahasa Mandarin berarti "semangatlah!" .
Lalu pintu
ditutup. Saya tidak bisa lagi melihat istri, anak, Saudara Guo, dan Robert Lai.
Tinggal saya dan beberapa petugas yang terus mendorong kereta itu ke ruang
operasi.
***
Kereta didorong
amat cepat. Rupanya saya harus segera tiba di ruang operasi, karena sedikit
agak terlambat dari jadwal. Saya amati lorong-lorong apa saja yang dilewati
kereta ini. Oh, harus menyeberang ke gedung sebelah, rupanya. Gedung rumah
sakit ini memang terdiri atas dua tower, masing-masing berlantai 15. Di lantai
12 sampai 14, ada lorong untuk menyeberang dari gedung kiri ke gedung kanan.
Saya akan dioperasi di gedung kanan.
Seluruh lantai
13 adalah ruang operasi. Rumah sakit ini, dalam waktu bersamaan, bisa melakukan
30 operasi penggantian organ. Mulai ganti ginjal, mata, jantung sampai ganti
liver seperti saya.
Dalam perjalanan
sepanjang lorong-lorong itu saya menyadari bahwa saya tadi belum sempat berdoa.
Saya harus berdoa. Saya tidak mau ada kesan bahwa saya sombong kepada Tuhan.
Tapi, segera saja saya terlibat perdebatan dengan diri saya sendiri: harus mengajukan
permintaan apa kepada Tuhan? Bukankah manusia cenderung minta apa saja kepada
Tuhan sehingga terkesan dia sendiri malas berusaha? Saya tidak mau Tuhan
mengejek saya sebagai orang yang bisanya hanya berdoa. Saya tidak mau Tuhan
mengatakan kepada saya: untuk apa kamu saya beri otak kalau sedikit-sedikit
masih juga minta kepada-Ku?
Karena itu, saya
memutuskan tidak akan banyak-banyak mengajukan doa. Saya tidak mau serakah.
Kalau saya minta-minta terus kepada Tuhan, kapan saya menggunakan pemberian Tuhan
yang paling berharga itu: otak? Maka saya putuskan akan berdoa se-simple
mungkin.
Tapi, masih ada
pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Apakah saya harus berdoa dengan biasa saja
atau harus sampai menangis? Kalau doa itu saya sampaikan biasa-biasa saja, apakah
Tuhan melihat saya sedang serius memintanya? Tapi, kalau harus saya ucapkan
sampai menangis dan mengiba-iba, apakah Tuhan tidak akan menilai begini: lihat
tuh Dahlan. Kalau sudah dalam posisi sulit saja dia merengek-rengek setengah
mati. Tapi, nanti akan lupa kalau sudah dalam keadaan gembira! Saya tidak ingin
Tuhan memberikan penilaian seperti itu.
Apalagi, saya
juga tahu bahwa sistem file di kerajaan Tuhan tidak membedakan doa yang dikirim
secara biasa, secara khusus maupun secara tangis-menangis. Tuhan punya sistem
file-Nya sendiri, entah seperti apa.
Waktu terus
berjalan. Perdebatan di hati saya belum selesai. Padahal, kereta sudah hampir
sampai di ruang operasi. Akhirnya saya putuskan berdoa menurut keyakinan saya.
Satu doa yang pendek dan mencerminkan kepribadian saya sendiri: Tuhan, terserah
engkau sajalah! Terjadilah yang harus terjadi. Kalau saya harus mati,
matikanlah. Kalau saya harus hidup, hidupkanlah! Selesai. Perasaan saya
tiba-tiba lega sekali. Plong. Kereta pun tiba di depan ruang operasi.
(iskan@jawapos.co.id) (bersambung)
August 29,
2007
Sudah Tiga
Jam Dimatikan, Belum Juga Di-"Garap"
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (4)
Ketika memasuki
ruang operasi, saya tertegun. Ruangnya sangat bersih, kinclong (karena
didominasi stainless steel), dan modern. Begitu masuk, yang terdengar adalah
musik soft-rock berbahasa Mandarin yang lagi digemari anak muda sekarang.
Belakangan saya
tahu judul lagu tersebut adalah Mei Fei Se Wu yang artinya "bulu mata
menari-nari", yang dibawakan oleh penyanyi top Hongkong Zheng Xiu Wen.
Suara musik itu cukup keras sehingga suasananya ingar-bingar. Rupanya, sambil
menunggu kedatangan saya, beberapa petugas muda menyenangi lagu itu. Suasananya
pun menjadi seperti di sebuah disko, bukan seperti di sebuah tempat yang
menyeramkan.
Mata saya terus
beredar dari dinding ke dinding. Dari alat ke alat. Saya ingin tahu apa saja
yang ada di ruang itu agar, kalau operasi berhasil, saya bisa menuliskan
deskripsinya secara baik.
Dokter belum
pada datang, karena memang pada tahap ini semua pekerjaan masih urusan perawat.
Beberapa perawat membicarakan saya. "Ini orang asing, kita harus pakai
bahasa apa?" ujar salah seorang di antara mereka. "Dia orang
Indonesia, tapi bisa berbahasa Mandarin," jawab yang lain.
Maka saya sela
pembicaraan mereka: Ya, saya bisa bahasa Mandarin sedikit-sedikit. Mereka
merasa lega, lalu memberikan beberapa perintah mengenai posisi badan saya.
Harus bergeser sini dikit dan harus naik sedikit. Lalu, lengan saya diperiksa
seperti akan memasang selang. Melihat tangan saya sudah dipasangi selang selama
3 bulan lebih, perawat memutuskan tidak mau pakai itu. Maka, dia minta lengan
kanan saya dimasuki jarum untuk memasukkan beberapa zat kimia ke badan saya.
Musik soft-rock
masih terus ingar-bingar. Beberapa perawat mengikuti suara musik itu dengan
suara mulutnya tanpa kata-kata. Rupanya dia sangat menikmati lagu itu. Perawat
yang lain mulai memasukkan cairan tertentu ke lengan saya. Hanya dalam beberapa
saat, saya tidak lagi mendengar suara musik itu. Juga tidak mendengar apa-apa
lagi. Saya sudah dimatikan untuk persiapan operasi. Saya baru akan dihidupkan
lagi, nanti, 18 jam kemudian.
***
Sejak saya masuk
ruang operasi pukul 14.00, istri, anak, dan sahabat saya Robert Lai kembali ke
kamar saya di lantai 11. Tepatnya kamar 1102. Di kamar ini mereka menantikan
perkembangan operasi saya. Perawat akan selalu mengabarkan apa pun yang terjadi
di ruang operasi.
Sementara
menunggu kabar, Robert yang sudah 11 bulan menemani saya ke mana pun pergi memutuskan
untuk membersihkan kamar saya. Rumah sakit ini, terutama gedung baru ini,
memang sudah sangat bersih. Tapi, Robert ingin kamar saya lebih bersih lagi.
Tidak boleh ada virus atau sumber virus yang akan membahayakan pascaoperasi
saya. Sudah diketahui bahwa virus pascaoperasi adalah pembunuh paling utama
bagi pasien yang baru melakukan transplantasi organ.
Rumah sakit juga
sudah memberi kami buku panduan mengenai bagaimana menjaga agar tidak terkena
virus. Buku itu berbahasa Mandarin, lalu kami terjemahkan ke dalam bahasa
Inggris agar seluruh keluarga saya memahami isinya. Penerjemahan ini sangat
bermanfaat karena banyak sekali pasien dari negara-negara Arab dan Pakistan
yang kemudian minta kopinya kepada kami.
Kamar saya di
lantai 11 terdiri atas dua ruang. Ada ruang tidur pasien dengan kamar mandi
khusus dan ruang pakaian. Lalu, ada satu ruang tamu yang besar di sebelahnya.
Di ruang tamu ini ada satu set TV besar, dispenser air mineral, satu set sofa,
lemari es besar, dan satu set dapur kering. Di dapur kering ini ada microwave,
rice cooker, water boiler, dan keran panas dingin.
Di ruang tamu
ini ada kamar mandi dan toiletnya. Istri saya tidur di ruang ini. Yakni, di
sebuah kursi yang kalau siang bisa untuk menambah kapasitas sofa, tapi kalau
malam bisa dipanjangkan menjadi tempat tidur biasa. Di belakang sofa, ada satu
meja makan dari kaca besar untuk makan bersama. Tapi, kami tidak makan di situ.
Meja ini saya pakai untuk "kantor dalam pengasingan". Kami pasang
komputer, laptop, printer, dan internet. Saya memang dapat menggunakan internet
kecepatan tinggi di ruang saya ini.
Dari kamar
inilah saya bisa membaca semua laporan perusahaan, mengirim dan menjawab
e-mail, dan tak jarang juga mengadakan rapat. Terutama rapat dengan
partner-partner usaha yang dari Tiongkok. Misalnya, saya harus panggil partner
yang membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kalimantan untuk mencari
jalan agar proyek selesai sesuai dengan jadwal. Sebab, krisis listrik di daerah
itu sudah tidak ketulungan.
Di dinding-dinding
kamar tamu yang kosong, lantas saya pasangi asesori. Dinding sebelah kanan saya
tempeli peta Tiongkok yang besar sehingga mudah bagi saya untuk melihat negara
ini secara keseluruhan. Di dinding satunya saya pasang peta Indoensia. Lalu, di
belakang meja besar saya pasangi white board. Bukan saja untuk rapat, juga
untuk saya pakai belajar bahasa Mandarin.
Sambil menunggu
giliran operasi yang tidak menentu waktunya, saya memang memutuskan untuk
meneruskan belajar bahasa Mandarin. Sehari empat jam: pagi dua jam, sore dua
jam. Saya mendatangkan guru dari IKIP di kota ini. Tiga orang guru secara
bergantian mengajari saya bahasa Mandarin.
Saya juga beli
proyektor yang saya hubungkan dengan laptop yang software-nya Mandarin. Ini
saya pakai untuk latihan menulis cerita dalam bahasa dan tulisan Mandarin.
Lalu, dari kursi di sebelah saya, guru saya tinggal melihat sorotan proyektor.
Lalu, memberikan koreksi mana yang saya salah dalam menggunakan kata-kata, atau
salah memilih huruf.
Sampai sehari
sebelum operasi saya masih "masuk kelas", seperti besok tidak akan
terjadi apa-apa. Ada juga sedikit tebersit perasaan, untuk apa ya saya
susah-susah belajar begini. Toh, kalau operasi gagal, besok saya sudah tidak
akan bisa lagi memanfaatkan hasil belajar saya ini. Malaikat toh akan bertanya
kepada saya di akhirat sana dengan (eh, pakai bahasa apa, ya?) bahasa malaikat
sendiri.
Tapi, ketika
saya berada di ruang operasi, semua peralatan yang ada di kamar ini
dibersihkan. Buku-buku, koran-koran, dan kertas-kertas yang selama ini di
mana-mana diangkut ke apartemen. Semua kursi dan meja dicuci. Tempat tidur saya
lebih-lebih lagi, disterilkan. Lantainya menjadi mengilap. Bersih dan kinclong.
Dua jam setelah
operasi bersih-bersih itu, perawat masuk memberikan kabar bahwa sampai
menjelang pukul 17.00 itu saya belum dioperasi. "Hah?" gumam Robert
seperti tidak percaya. Berarti sudah hampir tiga jam saya di ruang operasi dan
sudah dalam keadaan dimatikan, tapi belum juga di-"garap".
"Livernya
baru akan datang sekitar pukul 17.00," ujar perawat itu. (Bersambung)
Oleh
Dahlan Iskan
August 30,
2007
Tunggu
Operasi, Suasana seperti Siaran Langsung Sepak Bola
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (5)
Oleh
Dahlan Iskan
iskan@jawapos.co.id
Setelah diberi
tahu bahwa liver yang akan dipasangkan di dalam tubuh saya ternyata baru akan
tiba sekitar pukul 17.00, Robert Lai terperangah. "Tiwas kita sudah tegang
selama tiga jam. Ternyata belum diapa-apakan," katanya. Robert lantas
menerjemahkan informasi dalam bahasa Mandarin itu kepada istri dan anak saya.
"Berarti,
baru 10 menit lagi livernya tiba?" tanya istri saya sambil melihat ke jam
dinding.
Dia lantas
memperhatikan pintu masuk rumah sakit dari lantai 11, dari dalam kamar saya.
Istri saya ingin melihat masuknya ambulans yang mungkin membawa liver yang akan
dipasangkan ke dalam tubuh saya. Dia punya khayalan, bahwa kalau ada suara
"nguing…nguing…" masuk ke rumah sakit, pastilah itu suara ambulans
yang membawa liver.
Dari ruang tamu
di kamar saya itu, siapa pun memang bisa melihat apa yang terjadi di luar sana.
Dinding kamar tersebut terbuat dari kaca. Di seberang kamar itu terlihat gedung
pertama rumah sakit yang tingginya 17 lantai. Bangunannya dari luar mirip hotel.
Di atas gedung
itu, di bagian tengahnya, terdapat tambahan tiga lantai bulat. Lantai paling
atas rata. Di situlah helikopter yang membawa pasien darurat atau helikopter
yang membawa liver yang urgen mendarat. Istri saya juga memperhatikan puncak
gedung tersebut, siapa tahu livernya dibawa dengan helikopter.
Dari kamar itu
juga terlihat simpang susun jalan layang yang melingkar-lingkar di depan rumah
sakit. Lalu, terlihat juga pemandangan sungai yang bersih yang dipakai untuk
arena mainan anak-anak serta keluarga. Dari kamar tersebut, kalau Sabtu dan
Minggu malam, sering bisa melihat pemandangan indah. Yakni, mengudaranya
kembang api berjam-jam di berbagai tempat.
Itu pertanda
malam tersebut banyak pesta perkawinan. Kalau sudah ada pesta kembang api seperti
itu, kami biasanya mematikan lampu kamar, agar warna-warni kembang apinya lebih
jelas.
Istri saya kali
ini tidak memperhatikan semua itu. Dia lebih memfokuskan perhatian ke bawah,
melihat keluar masuknya ambulans di pintu gerbang depan sana. Dia mengira salah
satu ambulans yang masuk pada jam-jam itu pastilah yang membawa liver yang akan
menggantikan liver saya yang sudah rusak.
Anak lelaki
saya, katanya, jam-jam itu sibuk membalas SMS yang masuk. Semua seperti tidak
sabar menanyakan perkembangan operasi saya. Tentu mereka tidak diberi tahu
bahwa operasinya belum jadi dilaksanakan pada pukul 14.00. Mereka hanya diberi
jawaban "Belum ada kabar baru dari kamar operasi".
Lamanya tidak
ada "kabar baru" itu rupanya semakin membuat teman-teman di Indonesia
kian tegang. Ketegangan selama menunggu berlangsungnya operasi digambarkan oleh
Yoto, Dirut grup anak perusahaan Jawa Pos di Papua, seperti ini: Kami tiap 10
menit SMS ke Mas Azrul (Posko di Tiongkok) atau ke Mbak Nany Wijaya (Posko di
Surabaya). Kami seperti sedang mendengarkan siaran langsung sepak bola lewat
radio, tapi dalam keadaan musuh selalu mengancam ke gawang kita!
Semua itu saya
nilai wajar karena operasi penggantian liver tidaklah gampang. Apalagi,
kegagalan transplantasi liver di Tiongkok yang dialami tokoh seperti Nurcholish
Madjid mendapat pemberitaan yang sangat besar. Kegagalan tersebut, dan
kengeriannya, seperti baru terjadi beberapa minggu lalu.
Kabar pertama
dari ruang operasi masuk pukul 22.00. "Kita diminta naik ke lantai 13.
Kepada kita akan ditunjukkan sesuatu," kata Robert kepada istri dan anak
saya dalam bahasa Melayu yang agak sulit dimengerti. "Go!" tambahnya.
Maka, Robert,
istri, anak, dan saudara angkat Guo naik lift ke lantai 13. Mereka menunggu di
depan lift untuk menerima instruksi berikutnya. Tak lama kemudian, pintu lorong
tempat saya dimasukkan menuju ruang operasi sore tadi terbuka. Sejumlah dokter
membawa barang berdarah dan meletakkannya di lantai. "Ini liver bapak yang
sudah kami keluarkan," kata seorang dokter.
Melihat
"barang" tersebut, istri saya langsung lemas dan terduduk. Sesaat
kemudian, dia bersujud di dekat seonggok daging berdarah itu. Anak saya
memotretnya dari berbagai sudut. "Waktu bersujud itu, Anda mengucapkan doa
apa?" tanya saya beberapa hari kemudian. "Doa apa saja yang bisa saya
ucapkan," ungkapnya.
Lalu, dokter
menjelaskan bagaimana keadaan liver saya yang sudah dikeluarkan itu.
Digulang-gulingkannya. Lalu, menyayat-nyayatkan pisau di beberapa tempat untuk
melihat dalamnya. "Masya Allah," kata anak saya. "Seperti daging
yang dipanggang kematangan," ujarnya. Liver itu sudah begitu rusaknya.
Dokter lantas
mengiris lagi bagian lain. Dibenggangkannya irisan itu dengan jarinya yang
masih terbungkus sarung karet. "Itu lihat. Ada kanker di dalamnya,"
kata dokter sambil jarinya menuding ke arah benda yang dimaksud.
"Jepret," anak saya memotret lagi bagian itu.
Liver lama
tersebut memang tidak boleh dibawa. Hanya boleh difoto. Mengapa? Liver itu
masih akan dimasukkan ke laboratorium untuk dianalisis lagi lebih teliti. Bukan
hanya mengenai apa saja yang ada di dalamnya, melainkan juga untuk melihat
sudah ada berapa kanker yang muncul. Dan, yang lebih penting, apakah kankernya
telanjur menyebar atau tidak. Sebab, menurut hasil MRI sebelumnya, di dalam
liver saya sudah ada tiga kanker yang besar (ukuran 6 cm, 4 cm, dan 2 cm).
Lalu, masih ada dua lagi calon kanker baru. Dan, tentu mungkin masih akan
terlihat anak-anak dan cucu-cucunya.
Tapi, bagaimana
persisnya keadaan liver lama saya itu, masih harus menunggu hasil penelitian.
Kami baru akan diberi tahu sekitar seminggu kemudian. "Liver ini kami bawa
kembali," ujar dokter sambil kembali membungkusnya.
Pintu ditutup
lagi, para dokter meneruskan lagi pekerjaannya, menyelesaikan operasi terhadap
saya.
Pukul 24.00,
berita berikutnya disampaikan. Operasi sudah selesai. "Pak Yu Shi Gan
(baca: i-se-kan) akan segera dibawa ke ICU untuk menunggu siuman di sana,"
jelas seorang dokter kepada Robert.
"Pukul
berapa akan siuman?" kata Robert. "Kira-kira 6 jam lagi," ujar dokter.
Itu berarti saya baru akan siuman sekitar pukul 07.00 keesokan harinya.
Keluaga saya
sudah lebih tenang. Demikian pula dengan seluruh rekan yang memonitor
perkembangan operasi dari Aceh sampai Papua. Dari foto mereka ketika
mendengarkan penjelasan itu, terlihat jelas bahwa wajah-wajah mereka sudah
tidak tegang. Bahkan sudah tersenyum-senyum.
Semua
disampaikan anak saya kepada teman-teman yang menanyakan perkembangan operasi
saya. Suatu berita yang menggembirakan. "Suasananya lantas seperti mendengar
siaran radio pertandingan sepak bola, di mana lawan sudah tidak memborbardir
gawang kita lagi. Bahkan, sepertinya pemain kita anti menyerang terus. Kita
lantas seperti sedang menantikan terjadinya gol-gol ke gawang lawan,"
tulis Yoto di SMS-nya dari Papua.
Keluarga di
Samarinda, Madiun, dan Surabaya diberi tahu perkembangan itu. Kabar selesainya
operasi juga dikirim ke umat Buddha yang terus bersemedi di Kenjeran, Surabaya.
Diteruskan juga ke warga Sapto Dharmo di Pujon. Mereka sudah bisa menghentikan
peribadatannya.
Malam itu, istri
dan anak saya langsung bisa tidur. Robert kembali ke apartemen. Saudara ketiga
Guo pulang ke rumahnya. Saya tergolek menunggu siuman di ruang ICU di lantai
12. Di situlah berbagai jenis kabel dan selang menempel dan menancap di tubuh
saya, seperti untuk sementara menggantikan nyawa saya. (bersambung)
August 31,
2007
Begitu Sadar,
Teriak "Saya Hidup", tapi Tak Terucap
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (6)
Oleh:
Dahlan Iskan
iskan@jawapos.co.id
Begitu Sadar,
Teriak "Saya Hidup", tapi Tak Terucap
Suasana orang
yang lagi mau siuman selalu saja begini: Mula-mula terdengar dulu pembicaraan
orang-orang yang berada di sekitar kita. Tapi, mata tidak mau membuka. Seperti
orang yang ngantuknya luar biasa. Apalagi seperti saya, yang baru saja dibius
selama 18 jam. Suara-suara itu tambah lama tambah jelas. Ingin sekali mata
melihat siapa saja yang bersuara itu, tapi tetap saja tidak punya kemampuan
membuka kelopak mata sendiri.
Sesaat kemudian,
napas terasa sesak. Seperti orang yang lagi kekurangan oksigen. Perasaan lantas
seperti setengah berharap, setengah putus asa. Berharap karena ternyata masih
bisa bernapas, putus asa karena jumlah oksigen kok seperti tidak segera cukup
dan seperti mengancam kehidupan. Rasanya kok seperti mau mati karena kekurangan
udara.
Saya yang sudah
pengalaman beberapa kali dibius (meski dulu tidak sampai 18 jam seperti saat
penggantian liver kali ini), sadar bahwa saya ini sedang dalam proses dari
tidak sadar ke sadar. Saya yakin bahwa saya segera mengatasi persoalan sesak
napas itu. Tapi, kok sulit sekali ya? Maka, saya tetap berusaha sekuat tenaga.
Saya lantas memberikan isyarat kepada perawat dengan tangan saya. Antara sadar
dan tidak, saya coba menggerakkan jari-jari tangan saya seperti sedang memutar
keran. Maksud saya, ini permintaan agar keran oksigen diperbesar.
Tapi, mungkin
perawat tidak melihat isyarat di tangan saya. Saya gerak-gerakkan terus
jari-jari saya dengan gerakan seperti memutar keran. Mungkin juga yang terjadi
sebenarnya tidak seperti itu. Perasaan saya saja bahwa saya sedang
menggerak-gerakkan jari, tapi sebenarnya tidak ada jari yang bergerak sama
sekali. Bahkan, sebenarnya, barangkali juga tidak ada oksigen yang dialirkan ke
hidung saya. Begitulah kalau sadar dan tidak sadar bercampur jadi satu.
Lama-lama, rasa
sesak itu berkurang. Lalu, menjadi lega. Napas bisa ditarik dengan normal
seperti biasa. Mata pun lama-lama bisa membuka. Agak berat memang, tapi ingin
sekali membuka mata sebentar agar bisa melihat sekeliling. Kelihatanlah
samar-samar bahwa saya sedang di ICU. Di ruang perawatan khusus setelah
menjalani penggantian liver. Kesadaran ini datang tujuh jam setelah operasi.
"Saya
hidup," komentar spontan yang muncul, tapi tak terucapkan. Saya hidup.
Operasi tidak gagal. Saya hidup.
Tentu saya amat
bersyukur. Tapi, syukur saya tidak sampai mengabaikan rasa hormat saya kepada
mereka yang telah belajar keras di universitas dan menggunakan akalnya secara
sungguh-sungguh hingga melahirkan ilmu pengetahuan yang sangat maju. Saya
bersyukur kepada Tuhan sekaligus hormat kepada ilmuwan.
Setelah senang
karena masih hidup, barulah saya sadar bahwa begitu banyak instrumen yang ada
di sekitar tempat saya berbaring. Kabel-kabel, selang-selang, dan saluran infus
seperti bertaut-tautan. Suara tat-tit-tat-tit dari mesin-mesin elektronik di
sekitar saya mendominasi pendengaran saya.
Rasa-rasa tidak
enak mulai muncul satu per satu. Mula-mula rasa dada penuh dengan cairan
lendir. Cairan itu harus segera bisa keluar sebagai dahak. Kalau tidak, akan
membahayakan paru-paru. Begitulah bunyi petunjuk yang saya baca sebelum
operasi. Untuk mengeluarkan lendir itu, saya harus berbuat seperti membatukkan
diri keras-keras. Cara demikian juga saya ketahui dari buku petunjuk. Bahkan,
sejak beberapa hari sebelum operasi, perawat sudah melatih cara berbatuk yang
bisa mengeluarkan dahak. Waktu latihan, saya meraskan tidak ada kesulitan.
"Apa sih sulitnya batuk?" kata saya dalam hati. "Uhuk!
Uhuk!" Selesai. Perawat menyatakan saya berhasil menjalani latihan dengan
tingkat kelulusan summa cum laude.
Tapi, latihan
dan kenyataan ternyata sangat berbeda. Dalam praktik, ternyata saya sulit
sekali lulus. Sudah saya usahakan batuk semirip-miripnya batuk waktu summa cum
laude, tapi tidak juga berhasil. Sebagian mungkin karena saat itu saya sudah
tidak lagi punya tenaga sebaik saat latihan. Setelah hampir dua hari tidak ada
makanan apa pun yang masuk ke perut, tenaga pun rupanya ikut hilang. Namun,
saya juga takut akan bahaya dahak itu terhadap paru-paru. Saya berusaha terus
membatukkan diri. Sebatuk-batuknya.
Akhirnya broll!
Dahak yang amat banyak bisa keluar. Napas terasa amat lega. Ketika saya tanya
mengapa begitu sulit saya mengeluarkan dahak itu, perawat mengatakan bahwa itu
normal saja. "Apakah saya terlalu meremehkan saat latihan?" tanya
saya. "Tidak," kata perawat. Saya tahu, itu hanya untuk menyenangkan
hati saya. "Bagi perokok lebih sulit lagi mengeluarkan dahak itu,"
ujar perawat lebih lanjut.
Meski sudah
berhasil mendapatkan dua jenis kelegaan (bisa bernapas normal dan bisa
mengeluarkan dahak dalam jumlah besar), tapi masih banyak yang membuat badan
saya sangat tidak nyaman. Karena di lubang hidung masih ada dua selang yang
dimasukkan sampai ke perut saya. Dalam dunia kedokteran, kedua selang itu
dikenal dengan sebutan sonde.
Dua selang kecil
itu punya tugas sendiri-sendiri. Yang satu untuk membuang sisa makanan dari
lambung saya. Yang lain untuk mengirimkan makanan langsung ke usus saya.
Mengapa langsung ke usus? Sebab, pertama, saya belum bisa makan sendiri. Kedua,
karena pembuluh darah di esofagus (jalan makan yang menghubungkan mulut dengan
lambung), peritonium (selaput dinding perut), dan usus saya masih rawan pecah
sehingga perlu dilindungi. Ketiga, karena liver baru saya belum bisa "cari
makan" sendiri. Sehingga perlu ada yang "mencarikan."
Selain itu,
masih ada empat selang lain yang menancap di leher saya. Satu selang masuk
lewat lubang yang sengaja dibuat di bagian depan leher. Tiga lainnya masuk
lewat pembuluh darah besar di leher kanan.
Satu selang yang
dimasukkan lewat leher depan -di antara tulang belikat- gunanya untuk
mengalirkan napas bantuan dan membersihkan kelebihan lendir di paru-paru
(broncho toilet).
Saya diberi
napas bantuan karena sampai beberapa jam pascaoperasi, saya kan belum bisa
bernapas sendiri. Sehingga perlu dibantu. Agar "bantuan" itu bisa
cepat sampai ke paru-paru, maka diambillah jalan pintas, yakni lewat
tenggorokan.
Dan karena belum
bisa bernapas sendiri, maka sisa lendir di paru-paru pun tidak bisa saya keluarkan
sendiri dengan cara batuk atau berdahak, seperti yang sudah diajarkan perawat.
Sedangkan tiga
selang lainnya masuk lewat pembuluh darah besar, yang dalam istilah kedokteran
disebut dengan tri lumen atau central IV (baca : ai vi) line. Gunanya untuk
mengalirkan semacam infus yang mengandung protein dan kalori tinggi. Infus
jenis ini memang harus lewat pembuluh darah besar, tidak boleh lewat pembuluh
darah di tangan seperti biasanya orang diinfus. Sebab, konsentrasinya sangat
tinggi sehingga bisa merusak dinding pembuluh yang dilewati. Dinding pembuluh
darah utama yang leher lebih kuat sehingga cukup kuat untuk dilewati infus
jenis ini meski sampai tiga bulan secara terus-menerus.
Fungsi lain tri
lumen adalah untuk memasukkan obat-obat injeksi yang harus lewat pembuluh darah
dan mengambil sampel darah. Dengan begitu, bila perawat ingin mengambil sampel
darah atau menyuntikkan obat, tak perlu lagi dengan menusuk-nusuk tangan saya.
Yang lebih
istimewa dari tri lumen adalah bisa untuk memonitor kadar air dalam tubuh
(central venus pressure=CVP). Sebab, salah satu ujung tri lumen bisa
dihubungkan dengan alat monitor yang bisa menunjukkan perubahan kadar air di
tubuh saya setiap menit, secara otomatis.
Bahwa di tangan
saya masih ada semacam pentil yang biasa dihubungkan dengan selang infus, itu
bukan disiapkan untuk cairan infus atau injeksi. Melainkan untuk transfusi
(tambah darah) bila diperlukan.
Ketidaknyamanan
lain yang saya rasakan saat itu adalah adanya alat pengukur tekanan darah yang
dipasang di lengan kiri. Alat itu secara otomatis akan mencengkeram lengan saya
sangat kuat setiap setengah jam sekali. Angka-angka tekanan darah otomatis
keluar di layar monitor.
Itu belum
semuanya. Karena masih ada sejumlah alat dan kabel yang ditempelkan di dada
kiri dan kanan untuk mengecek denyut jantung. Kabel itu juga terhubung dengan
layar monitor. Ujung jari tangan dan kaki juga dijepit dengan alat yang
dihubungkan dengan kabel ke layar yang lain lagi.
Lengan kanan
saya juga sedang dipasang jarum untuk mengalirkan berbagai jenis infus. Ujung
selang infus itu bercabang-cabang karena lima macam cairan dari botol yang
berbeda harus mengalir ke tubuh saya lewat satu jarum tersebut.
Melihat
keruwetan di sekitar tubuh saya, saya mencoba untuk tidak merasa terganggu.
Saya berusaha tidak memikirkan itu. Saya justru teringat humornya rekan Zainal
Muttaqien, Dirut anak perusahan di Grup Kalimantan yang kini jadi direktur Jawa
Pos. Yakni mengenai susah payahnya seseorang untuk menyelamatkan hidup (mungkin
seperti saya ini), tapi meninggal oleh penyebab yang amat sepele.
"Jangan
sampai nanti meninggalnya justru hanya gara-gara kejatuhan singkong di jalan
raya."
Apa kejatuhan
singkong di jalan raya bisa membuat orang sampai meninggal?
"Lha
singkongnya satu truk. Lalu, truknya nabrak kita!"
Humor khas orang
Surabaya. Humor ludrukan. Tapi, itu bisa mengalihkan perhatian saya dari rasa
ruwet dibeliti selang dan kabel. Setidaknya untuk sementara.
***
Pagi tanggal 7
Agustus 2007 itu, sebenarnya, saya ingin menghitung berapa banyak selang,
botol, dan kabel yang saling berhubungan di tubuh saya. Ini agar saya bisa
menggambarkannya dengan baik kalau kelak harus menuliskannya untuk pembaca.
Namun, kesadaran saya dan tenaga saya tidak terlalu komplet pagi itu. Orang
yang baru siuman setelah dibius selama 18 jam tidak memiliki tingkat
konsentrasi yang sempurna.
Bahkan, saya
tidak sepenuhnya mengerti apakah ketika saya mulai sadar itu, waktunya sudah
siang atau masih malam. Lama sekali saya menebak-nebak: siangkah ini? Malamkah
ini? Memang suasana ruang ICU sangat terang. Tapi, saya ragu apakah itu
terangnya matahari atau terangnya lampu? Saya berusaha melihat jauh ke dinding,
ke arah jam besar dipasang. Tapi, pandangan saya lamur. Pertama, sedang tidak
menggunakan kacamata. Kedua, ya memang saya belum sepenuhnya punya kemampuan
normal.
Ingin sekali
saya berusaha mengalihkan pandangan ke kiri atau ke kanan, namun tidak bisa.
Saya tidak mungkin bisa menoleh karena begitu banyak selang di leher. Apalagi
kalau harus mendongakkan kepala untuk melihat sumber terang di belakang kepala
saya. Tidak mungkin. Maka, saya tidak tahu apakah terang di balik kepala itu
karena dinding kaca atau karena ada lampu yang dipasang di situ.
Satu-satunya
cara untuk bisa mengetahui situasi waktu, ya hanya dengan melihat jam di
dinding sana itu. Tapi, sulit sekali untuk bisa melihat dengan jelas. Kelopak
mata berat sekali. Hanya secara timbul tenggelam saya melihat secara kabur
bahwa itu seperti jam 11.00-an. Tapi 11 malam atau 11 siang, saya sungguh ragu
dengan kemampuan saya memperkirakan.
Ketika saya
lihat ada perawat mendekat, saya bertanya, "Ji dian?" Jawabnya,
"Jam sembilan". Lalu, saya tanya lagi, "Wan shang, hai shi shang
wu?" Dia jawab, jam sembilan siang! Tahulah saya bahwa saat itu sudah pagi
hari. Berarti sudah satu malam saya tidak sadar sama sekali. Dan tahulah saya
bahwa pandangan saya benar-benar gak sempurna. Jarum yang menunjuk jam 9 saya
kira menunjuk angka 11. (bersambung)
September 1,
2007
Tahan Tak
Bergerak 24 Jam di ICU karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (7)
Oleh:
Dahlan Iskan
iskan@jawapos.co.id
SATU jam setelah
sadar, saya melihat anak lelaki dan istri saya mendekat. Oh, ini jam besuk ke
ICU. Memang hanya dua orang dari pihak keluarga yang boleh masuk ICU. Kecuali
orang asing yang memerlukan penerjemah, maka ditambah satu penerjemah.
Saya segera
melambaikan tangan ke arah istri dan anak saya. Saya berusaha untuk tersenyum
sebagai ganti kata-kata bahwa saya baik-baik saja. Saya memang tidak bisa omong
jelas karena banyaknya selang di tenggorokan. Kalau saya paksakan omong, bisa
jadi tenggorokan saya akan terluka dan itu akan menyulitkan diri saya sendiri
akhirnya.
Anak saya
menceritakan apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka lakukan malam
sebelumnya. Juga menyampaikan daftar nama yang mengirim salam dan memberikan
dukungan batin lewat SMS. Misalnya, informasi bahwa malam itu santri Pondok
Langitan berdoa bersama dipimpin langsung oleh Gus Dulloh dan Gus Maksum, putra
Kiai Faqih. Juga dari Panti Asuhan Yatim Piatu Zainudin, Baluran, Sepanjang.
Istri saya diam
saja seperti tertegun melihat ruwetnya jaringan kabel dan selang di sekitar
badan saya. Setelah memotret-motret secukupnya, mereka pamit. Tinggal saya
sendiri lagi menghadapi ketidaknyamanan keadaan.
Tapi, saya sadar
sepenuhnya memang begitulah pascaoperasi. Saya tidak mengeluh. Bagian ini juga
harus saya jalani dan saya lewati sebagaimana saya harus menjalani dan melewati
proses pembiusan, pembukaan rongga dada, pembuangan liver lama, dan pemasangan
liver baru. Ini bukan operasi kecil. Ini operasi besaaar! Kalau setelah operasi
ada rasa sakit, pastilah demikian. Maka, saya nikmati saja proses ini. Mengeluh
hanya akan menambah penderitaan.
Yang berat
adalah menahan diri untuk tidak menggerakkan badan sama sekali. Apalagi harus
selama 24 jam. Ini agar luka-luka akibat operasi dan penyambungan pembuluh
darah di liver tidak terganggu. Saya sudah bertekad bagian ini pun harus bisa
saya lewati dengan baik. Bahwa akan amat penat, ya itu sudah risikonya. Saya
anggap saja sebagai yoga yang panjang. Atau sebagai bagian dari zikir-pidak di
tarekat Sathariyah. Kalau saya bergerak untuk tujuan mengenakkan badan sesaat,
akibatnya bisa berupa penderitaan yang panjang.
Saya pernah
menjalani dua operasi sebelumnya. Dua-duanya mengharuskan saya, kalau bisa,
tidak bergerak selama delapan jam. Saya berhasil menjalani itu dulu. Maka,
kalau kali ini saya harus tidak bergerak selama 24 jam pun, saya merasa akan
mampu melakukannya. Dan, ternyata memang bisa. Penatnya bukan main, tapi itulah
bagian yang harus dijalani untuk sukses. Saat mulai membangun Jawa Pos dulu,
tiap malam saya harus berdiri di ruang layout lebih dari 12 jam. Tiap malam.
Tujuh hari seminggu. 30 hari sebulan. 360 hari setahun. Kali ini saya juga
harus mampu memenuhi persyaratan untuk tidak bergerak selama 24 jam!
Sejak kecil pun,
saya sudah belajar tahan menderita. Bukan saja oleh kemiskinan, tapi juga oleh
kerasnya sikap bapak saya. Misalnya, bapak melarang saya untuk belajar naik
sepeda. Mengapa?
"Kalau
sepeda itu rusak, bagaimana kita bisa menggantinya?" katanya.
Karena itu,
sampai kelas tiga SMA (aliyah), saya belum bisa naik sepeda. Saya harus sekolah
sejauh 6 km dengan jalan kaki. Satu jam berangkat dan satu jam pulang. Kadang,
kalau lagi ada pelajaran bahasa Inggris hari itu, saya tetap berangkat dari
rumah, namun belok ke sungai di tengah jalan. Saya cari ikan karena takut
dengan guru bahasa Inggris. Lama-lama, tiap pelajaran bahasa Inggris, saya
berada di sungai.
Akibatnya, saya
tidak naik dari kelas 1 ke kelas 2. Rapor saya merah semua, kecuali ilmu bumi
yang mendapat angka enam. Bapak marah besar. Saya juga merasa bersalah kepada
kakak saya yang telah meninggalkan gajinya untuk saya dan adik saya. Sejak itu,
saya kelihatan agak pinter di kelas. Bahkan, kemudian sering jadi ketua
berbagai kegiatan. Juga sering ditunjuk sebagai inspektur upacara pada tiap
Senin.
Tapi, cita-cita
saya bukan itu. Cita-cita saya adalah "bagaimana agar punya sepatu".
Sampai kelas 2 SMA, saya belum punya sepatu. Tiap hari ke sekolah dengan
telanjang kaki. Maka, ketika kelas 3 SMA, saya bisa beli sepatu (sepatu kets
bekas yang ujung jempolnya sudah bolong dan bagian tumitnya sudah berserabut),
saya hemat benar pemakaiannya. Hanya tiap Senin sepatu itu saya pakai. Maka,
jadilah saya inspektur upacara dengan sepatu di kaki. Banggakah saya? Ternyata
tidak. Karena dalam hati saya tersiksa. Sepatu itu menimbulkan rasa tidak
nyaman yang hebat, bahkan menimbulkan luka.
Karena itu, saya
hanya tersenyum ketika melihat anak saya mempunyai sepatu sampai lebih dari 300
dan semuanya branded alias bermerek. Dia memang hobi mengoleksi sepatu. Kalau
beli sepatu, dia tidak ingin kotak dan labelnya dibuang. Dia juga tidak pakai
sepatu itu. Hanya dia jejer di lantai rumah, untuk dipandang setiap hari.
Begitu penuhnya sehingga istrinya suatu saat bilang kepada saya, "Sampai
jalan masuk ke kamar tinggal satu galengan (pematang)."
Saya juga pernah
dipukuli bapak dengan sapu. Mula-mula, saya menangis. Tapi, saya pikir tidak
ada gunanya. Saya diam dan menikmati pukulan itu. Sambil merasa memang saya
bersalah. Ternyata, bapak malah menghentikan pukulannya. Ini gara-gara saya
sering menggunakan alat-alat pertukangannya untuk ndalang. Bapak sangat sayang
pada alat pertukangannya. Kalau tidak lagi ada orang yang minta memperbaiki
rumahnya, ayah menggosok-gosok alat-alat itu sampai tajam.
Namun, suatu
hari, anak-anak pasah itu (alat untuk menghaluskan kayu) saya gandeng-gandeng,
dalam posisi menumpuk. Kalau disentuh, akan timbul bunyi "crek-crek".
Satu bunyi yang penting dalam memainkan wayang. Kecrek itulah, yang saya pasang
di kotak kayu. Saya duduk mendalang di sebelahnya. Kaki saya dalam posisi akan
sering menyentuh kecrek tersebut sehingga bisa menimbulkan bunyi "crek-crek".
Begitulah, kelirnya terbuat dari sarung saya. Gamelannya adalah mulut beberapa
teman sepermainan. Wayangnya terbuat dari rumput. Dan, kecreknya dari alat
pertukangan ayah.
Ayah bukan hanya
marah karena alat-alat cari uangnya dipakai secara salah, tapi juga karena di
kotak itu ternyata ayah menyimpan uang. Dan, uang itu ikut saya ambil untuk
saya belikan dawet. Padahal, meski hanya cukup untuk beli dawet (minuman khas
di desa), tapi itulah satu-satunya tabungan ayah.
Puluhan tahun
saya menderita, kata saya dalam hati, kalau hanya akan ditambah 24 jam di ICU
ini, apalah beratnya.
Perawat ICU
memuji ketahanan saya. Karena itu, tangan saya tidak perlu diikat. Banyak
pasien yang tangan dan badannya harus diikat karena selalu berusaha untuk
bergerak. Bahkan, ada yang mungkin tidak sadar, tangannya berusaha mencabut
selang-selang yang memenuhi tenggorokannya. Saya pilih menjalani proses tidak
bergerak dengan kesadaran sendiri daripada harus diikat seperti itu.
***
Sebenarnya,
masih ada tiga selang lagi yang juga amat mengganggu. Selain karena ukurannya
yang cukup besar, juga lantaran ujung dua dari tiga selang-selang itu
dimasukkan ke dalam rongga perut saya melalui pinggang kanan dan kiri. Ujung
selang yang satunya dimasukkan ke kandung kemih melalui lubang kemaluan. Ujung
lain dari masing-masing selang itu masuk ke kantong plastik penampung cairan
yang digantungkan di pinggir ranjang pasien.
Dengan adanya
selang yang di lubang kemaluan itu, selama di ICU, saya tak perlu lagi merasa
akan kencing. Sebab, begitu kandung kemih saya penuh, air kencing saya keluar
dengan sendirinya melalui selang, masuk ke kantong penampungnya. Secara
teratur, air kencing di kantong itu diukur dan dianalisis. Jumlah dan warnanya
menunjukkan normal tidaknya ginjal dan berfungsi atau tidaknya organ penting
itu.
Sama dengan yang
di ujung kemaluan, selang yang di pinggang juga untuk mengeluarkan
cairan-cairan yang tidak dibutuhkan tubuh saya. Semua cairan itu juga ditampung
di kantong plastik, lalu secara teratur diukur dan dianalisis.
Bedanya, selang
yang di pinggang kanan berfungsi untuk mengeluarkan sisa darah yang mungkin
masih menetes dari luka bekas sayatan operasi di liver dan kantong empedu baru
saya. Karena itu, posisi ujung selangnya ada di dekat kedua organ yang baru ditransplantasikan
itu.
Selama saya di
ICU, selang di pinggang kanan mengeluarkan cairan pekat berwarna merah. Makin
hari, cairan itu makin sedikit keluarnya. Dan akhirnya berhenti karena
luka-luka bekas sayatan operasi itu sudah "kering". Tak lagi
berdarah.
Bersamaan dengan
keluarnya sisa darah dari pinggang kanan, selang di pinggang kiri juga
mengeluarkan cairan kuning kemerahan. Cairan itu merupakan kelebihan cairan di
rongga perut yang bercampur dengan sisa darah operasi yang tercecer dan
berkeliaran.
Rongga perut
memang harus bersih dari "barang asing". Jika ada sesuatu yang tidak
terdaftar sebagai "penghuni rongga perut", seperti ceceran darah, sel
tumor atau kanker, maka selaput dinding rongga perut -yang dalam istilah
kedokteran disebut dengan peritonium- akan bereaksi, protes, dengan cara
mengeluarkan lebih banyak cairan. Makin banyak cairan yang keluar, makin
berbahaya karena peritonium bisa pecah dan orangnya meninggal.
Liver dan empedu
baru saya tidak termasuk dalam kategori "barang asing" yang ditolak
karena kedua organ itu kan sebenarnya penghuni rongga perut juga.
Sama dengan yang
di pinggang kanan, cairan yang keluar dari pinggang kiri saya pun makin hari
makin berkurang warna merahnya. Ini berarti semua ceceran darah sisa operasi
sudah didorong keluar dari rongga perut.
Jumlahnya pun
makin hari juga semakin sedikit. Ini pertanda tak ada lagi kelebihan cairan di
rongga perut saya. Sehingga selangnya pun bisa dicabut.
Hari-hari
pertama di ICU itu memang harus saya lalui dengan amat menderita, tapi saya
berusaha tabah menjalaninya. Saya tidak mengeluh kepada siapa pun. Saat dokter
bertanya apakah ada masalah, saya bilang tidak ada. Bahwa sebenarnya badan
tidak enak, ya mesti saja. Tapi, bukankah memang harus demikian? Bukankah ini
operasi yang sangat besar? Yang tidak mungkin tidak sakit?
Tapi, sepanjang
sakitnya masih masuk akal, saya bertekad untuk tidak mengeluh. Kalau saya
merasa kesakitan, saya tahu paling-paling hanya akan diberi obat penghilang
rasa sakit, painkiller. Itu berarti satu racun lagi akan dimasukkan dalam tubuh
saya. Saya gak mau itu. Apalagi seminggu sebelumnya saya baru saja baca bahwa
Australia melarang penggunaan painkiller tertentu karena terbukti membuat
pasien yang baru menjalani transplantasi liver meninggal dunia.
Sakit ini, meski
sakit sekali, masih bisa saya rasakan. Yakni sakit akibat luka. Yakni luka yang
sengaja dibuat dengan pisau bedah di sepanjang dada dan perut saya untuk
mengeluarkan liver yang lama dan memasukkan liver yang baru. Tidak mungkin
setelah perut ditutup tidak menimbulkan rasa sakit.
Tapi, sakitnya,
sekali lagi, bisa dirasakan. Dan, ketika kecil, saya sudah sering mengalami
rasa sakit seperti itu. Yakni ketika telapak kaki terkena cangkul. Waktu kecil
saya memang sering ikut jadi buruh tani, mencangkul di sawah, yang disiapkan
untuk menanam padi. Kadang, cangkul meleset dan mengenai telapak kaki. Lukanya
lebar, memutih, dan berdarah-darah. Tentu tidak ada obat. Biasanya hanya kami
siram dengan minyak tanah, lalu kami bebat dengan kain sobekan dari kaus atau
sarung. Kain yang tidak pernah dipertimbangkan bersih atau tidak karena ya baru
disobek saat itu juga. Kadang masih bercampur lumpur juga. Sakitnya saat habis
operasi ya kurang lebih seperti itu. (bersambung)
September 2,
2007
Sempat
Berpikir Lebih Baik Mati daripada Melanjutkan Kemo
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (8)
KALAU saya
sangat tahan menerima penderitaan selama di ICU, bukan saya jagoan dalam
menerima rasa sakit. Bukan. Saya pernah mengalami rasa sakit sampai tidak tahan
lagi menanggungkannya. Saya pernah mengalami rasa sakit yang "sampai nggak
bisa dirasakan". Yakni, ketika setahun lalu harus menjalani kemoterapi.
Waktu itu diketahui (lewat scanner) bahwa di liver saya sudah ada kankernya.
Lalu kanker itu dicoba dibunuh dengan cara di-TACE. Lalu dikemo. (Kelak akan
saya jelaskan apa itu di-TACE).
Setelah dikemo
itu, rasanya luar biasa tidak karuan. Yakni sakit, mual, mulas, kembung,
melintir-lintir, dan entah berapa jenis rasa sakit menjadi satu. Sampai-sampai
saya tak bisa memisah-misahkan bentuk sakitnya itu terdiri atas berapa macam
rasa sakit.
Dalam hal ini
saya merasa kalah dengan Sara, salah satu manajer keuangan saya. Dia muda,
cantik, tinggi, dan diserang kanker. Dia harus menjalani kemo berpuluh kali
hingga kepalanya gundul. Kini dia kembali cantik dan sudah melupakan
penderitaan kemonya.
Sedang saya
tidak tahan. Saya bilang kepada Robert Lai yang menunggui saya di Singapura,
kalau dalam satu hari itu tidak juga reda, saya pilih mati. Tidak ada gunanya
hidup dalam keadaan seperti itu. Saya minta mati saja, kata saya kepadanya.
Lalu dia lapor ke dokter. Saya diberi obat tertentu. Pasti painkiller.
Pelan-pelan rasa tidak karu-karuannya berkurang.
Tapi, saya
kemudian memutuskan tidak mau lagi dikemo. Tidak tahan. Saya akan cari jalan
lain saja. Atau lebih baik mati saja. Toh saya sudah berumur 55 tahun. Sudah
berbuat sesuatu yang lumayan. Juga sudah melebihi umur ibu saya, atau umur
kakak saya, atau umur paman-paman saya.
Ini bukan untuk
menunjukkan bahwa saya pernah hampir putus asa, melainkan untuk menunjukkan
kekaguman saya kepada orang-orang yang mampu menjalani kemo berkali-kali.
Mereka jelas lebih hebat dari saya.
***
Hari pertama di
ICU itu saya tidak merasa mengantuk. Hanya, mata terus terpejam. Rasanya saya
tidak punya kekuatan untuk membuka kelopak mata saya sendiri. Sambil mata tetap
terpejam pikiran saya jalan ke mana-mana. Ke Surabaya, ke Medan, Bengkulu,
Batam sampai ke Palu. Saya juga suka memperhatikan kesibukan di ruang ICU itu.
Memperhatikan dengan mata terpejam. Semua saya catat dalam ingatan saya. Dasar
bekas wartawan! Kata hati saya.
Memperhatikan
apa saja yang terjadi di ICU itu membuat perhatian saya terbagi. Ini baik.
Karena tidak melulu tercurah ke rasa sakit. Perhatian saya menjadi tidak hanya
kepada banyaknya selang yang menancap di sekujur tubuh. Saya juga bisa
melupakan rasa penat akibat tekad saya sendiri untuk tidak akan menggerakkan
tubuh sedikit pun selama 24 jam. Yakni, agar tidak berakibat buruk pada
luka-luka operasi saya. Baik luka di kulit akibat sayatan pisau atau luka di
dalam akibat terjadinya penyambungan-penyambungan pembuluh darah.
Tak terasa sore
pun tiba. Sore itu, satu selang yang dimasukkan lewat leher kanan saya dicabut,
dilepas. Agak lega sedikit. Tapi, masih ada dua selang yang menancap di leher
yang dilubangi itu. Agak lebih sore lagi, selang yang dimasukkan ke rongga
perut lewat lubang hidung juga dicabut. Lebih lega lagi. Saya terus berharap,
selang-selang itu satu per satu akan dilepas. Saya tidak mau bertanya jadwal
melepaskan selang-selang sisanya. Khawatir berharap terlalu banyak. Saya sudah
biasa dengan sikap untuk tidak berharap banyak pada apa pun dan pada siapa pun.
Ini, menurut pendapat saya, baik. Karena akan membuat saya merasa lebih
bahagia. Setidaknya tidak akan membuat saya terlalu kecewa.
Bukankah bahagia
dan kecewa sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri? Orang akan merasa bahagia
kalau keinginannya tercapai. Orang akan merasa kecewa kalau keinginannya tidak
tercapai. Maka, ini saya, untuk mencapai kebahagiaan sangatlah mudah: Jangan
pasang keinginan terlalu tinggi. Jangan menaruh harapan terlalu banyak.
Dulu pun saya
hanya ingin Jawa Pos menjadi koran yang oplahnya separonya dari Surabaya Post.
Tidak perlu lebih besar dari itu. Waktu itu, rasanya tidak mungkin mengejar
Surabaya Post yang sudah merajalela kehebatannya.
Baru setelah
ternyata mudah sekali membuat koran yang bisa sebesar 50 persennya Surabaya
Post, meningkatlah keinginan untuk bisa sebesar Surabaya Post. Keinginan itu
meningkat terus secara bertahap, sehingga menjadi seperti Grup Jawa Pos
sekarang.
Sebuah koran
nasional dari daerah dengan oplah lebih dari 300 ribu eksemplar per hari. Ini
belum termasuk koran-koran Grup Jawa Pos yang terbit di Jakarta dan di
kota-kota lain di luar pulau. Bahkan, koran ini berkembang sedemikian rupa
hingga menjadi sebuah grup media yang membawahkan lebih dari 100 koran harian
dan mingguan, delapan televisi lokal, pabrik kertas, dan power plant.
Jadi, kalau ada
yang menganalisis bahwa saya punya grand design untuk membuat Jawa Pos seperti
sekarang, tidaknya begitu kenyataannya.
Hanya
desain-desain kecil yang saya buat. Tapi, saya wujudkan dengan konstan. Dengan
istikamah, dalam istilah Pesantren Miftahul Ulum Al Islami, Kedungdung,
pimpinan KH Ilyas Khotib, di Bangkalan, Madura. Saya punya prinsip semuanya
sebaiknya mengalir saja seperti air. Hanya, kalau bisa, alirannya yang deras.
Batu pun kadang bisa menggelundung, kalah dengan air yang deras.
Itu menangnya
orang yang tidak punya cita-cita tinggi sejak awal. Hidupnya lebih fleksibel.
Karena tidak punya cita-cita, kalau dalam perjalanannya menghadapi batu besar,
ia akan membelok. Tapi, kalau orang berpegang teguh pada cita-cita, bertemu
batu pun akan ditabrak. Iya kalau batunya yang menggelundung, lha kalau
kepalanya yang pecah gimana? Cita-cita saya semula hanya ingin punya sepatu,
biar pun rombengan. Lalu ingin punya sepeda. Rasanya, waktu pertama punya
sepeda (juga bekas) bahagianya melebihi saat punya Jaguar. Padahal, sepeda itu
pernah putus as rodanya sehingga tidak bisa dinaiki. Bahkan, dituntun pun tidak
bisa. Terpaksalah saya menggendongnya. Menggendong dengan bahagia.
Malamnya saya
juga tidak mengantuk. Mungkin sudah kelamaan ditidurkan! Yakni, 18 jam dibius.
Malam itu saya menyaksikan kerja perawat di ruang ICU yang luar biasa sibuknya.
Perawat shift malam itu mulai bekerja pukul 19.00 dan baru akan pulang pukul
07.00 keesokan harinya. Sepanjang malam mereka bekerja tanpa istirahat sedikit
pun. Ini karena tiap tiga perawat mengurus lima pasien ICU. Semuanya baru saja
menjalani penggantian organ tubuh. Ada yang ganti liver seperti saya, ada yang
ganti ginjal, ada yang ganti jantung. Tiap-tiap pasien memerlukan begitu banyak
obat, begitu banyak macam cairan infus, begitu banyak alat deteksi yang terus-menerus
harus dipantau, diganti, dan dicatat.
Dan, yang juga
tak kalah penting adalah dibuatkan invoice-nya untuk menagihkan kepada pasien.
Maka setiap habis menggunakan bahan, harus dicatat berapa harganya dan lalu
di-invoice-kan. Ini penting sekali, bagi RS tentunya. Sebab, kalau salah dalam
meng-invoice-kan, berarti rumah sakit akan menderita. Yakni, menderita
kerugian.
Setiap ada
kesempatan saya selalu memuji mereka. "Anda luar biasa sekali. Satu malam
suntuk bekerja tanpa istirahat," kata saya. "Untung Anda masih sangat
muda. Kalau sudah tua, nggak mungkin bisa bekerja tanpa henti dengan
konsentrasi tinggi sepanjang malam," kata saya. "Terima kasih,"
jawabnya.
Saya tahu dia
akan libur besoknya. Jadi masih lumayan. Berbeda dengan muda saya dulu. Saya
ingat waktu itu, waktu mulai membangun Jawa Pos dari sebuah koran yang hampir
bangkrut, saya harus bekerja sepanjang malam. Besoknya tidak pakai libur.
Bahkan, sudah harus bekerja sejak pagi lagi. Sampai malam lagi. Begitu
seterusnya. Tidak libur. Besoknya sepanjang malam lagi, sepanjang siang lagi
dan sepanjang malam lagi. Tujuh hari seminggu, 30 hari sebulan, 360 hari
setahun. Selama kira-kira 15 tahun berturut-turut.
Inilah yang
membuat organ di dalam tubuh saya menderita. Liver saya kalah. Dia sebenarnya
sudah lama menangis-nangis minta diperhatikan. Sudah lama minta untuk tidak
diperlakukan seperti itu. Sudah lama komplain ke sana kemari. Namun, karena
tidak dipedulikan, lantas ngambek seperti ini. Lalu minta diistirahatkan
seterusnya. (bersambung)
September 3,
2007
Kesadaran
Pulih, tapi Saya Tak Mampu Sujud Syukur
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (9)
SAYA memperoleh
kesadaran penuh pada malam kedua di ICU. Di tengah malam yang sepi itu,
tiba-tiba pikiran saya jernih sekali. Suara tat-tit-tat-tit mesin yang
memonitor organ-organ tubuh saya terdengar kian jelas. "Saya benar-benar
masih hidup," kata hati saya. "Alhamdulillah. Puji Tuhan," batin
saya lagi.
Tiba-tiba saya
terlibat diskusi lagi dengan pikiran sendiri mengenai apa bentuk syukur yang
harus saya lakukan. Sudah pasti saya belum punya kemampuan bersujud. Tapi,
sujud kan tidak harus dengan kepala? Kan bisa juga yang sujud hati? Maka saya
sujud dengan hati saya. Rasanya malah lebih ikhlas. Tidak ada yang lihat. Sepi
sekali ing pamrih. Sebentar tapi menenangkan batin.
Saya memang
bertekad untuk tidak akan mendemonstrasikan rasa syukur itu dalam bentuk yang
ekstrem. Misalnya, dengan sepanjang-panjangnya mengucapkan kalimat-kalimat
tertentu atau bahkan sampai menitikkan air mata. Atau memotong sapi untuk acara
besar-besaran. Saya khawatir, semakin panjang kalimat yang saya ucapkan,
semakin saya "sudah merasa bersyukur". Semakin banyak orang yang saya
undang untuk syukuran, semakin saya "sudah merasa bersyukur banyak".
Saya akhirnya berkesimpulan akan bersyukur dengan cara "memanfaatkan umur
tambahan ini dengan seproduktif-produktifnya".
Paginya, apa pun
yang di ICU terlihat jelas dan terekam baik dalam ingatan. Hari kedua di ICU
itu, pagi-pagi, pimpinan rumah sakit yang juga kepala tim dokter yang menangani
penggantian liver saya datang menjenguk. Karena dia pimpinan, yang menyertainya
banyak sekali. "Ze me yang?" tanyanya sambil memegangi tubuh saya
menanyakan apa kabar dalam bahasa Mandarin. "Hen hao," jawab saya.
Saya bilang bahwa saya baik-baik saja dan tidak punya keluhan apa pun.
Tentu itu
basa-basi. Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya katakan. Bukan mengenai
keluhan saya, melainkan soal-soal lain yang membuat saya penasaran. Yang
membuat saya ingin segera tahu. Misalnya, apakah ada kesulitan yang berarti
untuk melakukan operasi tadi malam? Apakah liver saya yang lama benar-benar
telah rusak seperti yang diperkirakan? Atau sebenarnya masih baik, yang akan
membuat saya menyesal melakukan operasi?
Soalnya, ada
juga sedikit kekhawatiran bahwa jangan-jangan setelah perut dibuka, ternyata
liver saya baik-baik saja. Jangan-jangan hasil scanner yang menyatakan liver
saya sudah rusak dulu itu hanya karena alat scanner-nya "salah
lihat". Bukankah memang ada kasus-kasus "salah diagnosis"
semacam itu?
Ada juga
pertanyaan yang lebih penting yang ingin segera saya ketahui. Benarkah sudah
ada kanker di liver lama saya? Benarkah tanpa operasi ini sebenarnya saya masih
bisa hidup lima tahun lagi? Benarkah, seperti kata sebagian dokter, bahwa
sebenarnya saya tinggal punya kesempatan hidup enam bulan lagi? Karena kanker
sudah menjalar ke beberapa bagian di dalam liver saya?
Tapi, pertanyaan
itu terlalu banyak untuk diajukan pagi itu. Juga terlalu dini. Rasanya kurang
pas kalau saya sudah bertanya sejauh itu. Bukankah pagi itu dokter hanya
mengunjungi saya untuk menunjukkan perhatian kepada saya? Untuk menunjukkan
rasa persahabatan yang tulus? Sebab, tanpa mengunjungi saya pun dia sudah bisa
baca dari laporan komputer mengenai perkembangan keadaan saya.
Maka, saya urung
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi. Masih ada waku di lain hari. Toh, saya
masih akan berhari-hari di rumah sakit ini. Bahkan, mungkin masih berminggu
atau (kalau operasi ini gagal) masih akan berbulan lagi.
Saya malah berubah
pikiran dengan cepat. Saya justru bergegas menunjuk ke perawat yang berdiri di
arah kaki saya. "Dokter, perawat-perawat rumah sakit ini luar biasa. Tadi
malam mereka bekerja keras sepanjang malam, tanpa istirahat sedikit pun,"
kata saya kepada pimpinan rumah sakit itu.
Sang pimpinan
tersenyum senang. Lalu dia mendekat ke arah perawat dan memegang-megang
pundaknya. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Dan, saya kira memang tidak
perlu ada kata-kata apa pun. Tepukan tangan ke pundak anak buah seperti itu
sudah melebihi pujian yang diucapkan dengan ribuan kata.
"Terima
kasih, Mr Yu memuji saya di depan pimpinan," kata perawat itu kepada saya
setelah rombongan pimpinan berlalu. Di Tiongkok nama saya memang Yu Shi Gan
(baca: i-se-kan), sehingga cukup dipanggil nama depannya saja (Yu) yang dikira
nama marga saya.
Saya tidak
basa-basi memuji para perawat itu. Saya memang benar-benar ingin memujinya.
Kerja yang luar biasa keras itu harus ada yang mencatatnya. Para perawat itu
tidak hanya harus membuat laporan yang baik, tapi mereka sendiri juga harus
dilaporkan. Terutama kebaikannya itu.
Para perawat itu
bekerja dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab kepada keselamatan pasien.
Yakni, melakukan pekerjaan cepat, cermat dengan ketelitian yang tinggi di waktu
malam yang sepi. Kalau saja tidak teliti pun siapa yang tahu?
Mereka juga
bekerja dengan penuh tanggung jawab kepada rumah sakit. Yakni, dengan cara
tidak ceroboh mencatat harga-harga barang yang saya gunakan malam itu: obat,
infus, selang, jarum, tisu, sarung tangan, plester, dan seterusnya. Setiap ada
pemakaian bahan harus dicatat harganya dan dibuatkan invoice penagihannya.
Kalau tidak, rumah sakit akan rugi. Pemakaian barang seharga 1 yuan (sekitar Rp
1.100) pun harus dicatat rapi dan dibuatkan perhitungannya. Jarum pun ada
harganya, kapas secuil ada harganya. Apalagi selang, cairan infus, dan
obat-obatan.
Saya perlu
memuji perawat tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih saya yang tulus
kepada mereka. Saya tidak mungkin memberinya uang. Saya kan dalam keadaan
telanjang! Mana bisa membawa dompet? Apalagi sudah menjadi kebiasaan saya,
membawa dompet pun belum tentu ada duitnya.
Saya perlu
memujinya karena setelah hari itu saya tidak mungkin lagi bisa bertemu mereka.
Hari ini mereka dapat giliran libur. Besok sudah akan menjalani kehidupan baru
dengan pasien berikutnya lagi. Saya mungkin juga tidak berada lagi di ICU
karena pagi itu sudah bisa kembali ke kamar saya di lantai 11. "Terima
kasih Bapak telah memuji saya di depan pimpinan saya," kata perawat itu.
Wajahnya kelihatan bersorak gembira. Seperti mendapatkan uang berjuta. Saya
tidak akan lupa wajahnya. Tidak akan lupa ekspresi kegembiraannya. Tidak akan
lupa keterampilannya. Dan kerja kerasnya.
***
Tiba-tiba anak
saya laki-laki, Azrul Ananda, masuk ICU. Kali ini bersama adiknya, Isna
Fitriana, yang baru malam harinya tiba dari Surabaya. Hari itu rupanya saya
akan diserahterimakan.
"Bapak kan
sudah aman. Dan Isna sudah di sini. Pagi ini saya kembali ke Surabaya,"
ujar Azrul. "DBL harus segera dimulai," tambahnya. DBL (DetEksi
Basketball League) adalah liga basket SMP/SMA terbesar di Indonesia yang dia
prakarsai. Saya mengangguk karena rasanya memang tidak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan. Perasaan saya baik-baik saja.
Rupanya, baru
selama sakit ini saya punya komunikasi yang intensif dengan anak-anak saya.
Sebelumnya, saya ternyata jarang sekali berbicara dengan mereka. Meski anak
lelaki saya juga di Jawa Pos, saya membiarkan proses manajemen berjalan apa
adanya. Saya hampir tidak pernah bicara soal perusahaan kepadanya. Keberadaan
dia di Jawa Pos malah membuat hubungan saya sebagai bapak dan anak menjadi
seperti hubungan atasan dan bawahan. Karena dia bukan bawahan langsung, berarti
tidak perlu ada hubungan yang khusus.
Anak-anak saya
memang sudah terpisah sejak mereka masih amat remaja. Begitu tamat SMP,
keduanya langsung ke USA, masuk SMA di sana. Bahkan, Azrul sampai tujuh tahun
di sana. Ikut orang tua angkatnya yang didapat melalui proses undian. Karena
itu, kami tidak pernah tahu di rumah siapa dia akan tinggal di AS. Ternyata,
Azrul dapat orang tua angkat yang sama sekali tidak diperkirakan. Yakni,
seorang bapak yang ternyata juga pemilik surat kabar daerah di Kansas. Namanya
John Mohn. Dia seorang master jurnalistik. Juga juragan koran.
John tidak punya
anak laki-laki. Maka, Azrul dia anggap sebagai anak laki-lakinya. Tiap hari dia
ajak anak saya ke kantor korannya. Dia ajari fotografi. Dia ajari jurnalistik.
Bukan hanya penulisannya, tapi juga kemerdekaan dan filsafatnya. Jadilah Azrul
anak yang mencintai koran. Bukan karena saya, tapi karena bapak angkatnya itu.
Saya sendiri
sejak awal tidak ingin dia kerja di koran. Terlalu berat. Terlalu menyiksa.
Juga belum tentu menghasilkan kekayaan. Maka sejak tamat SMP saya kirim dia ke
AS agar bisa punya pilihan lebih baik. Setidaknya agar bisa berbahasa Inggris.
Tidak seperti bapaknya yang hanya tamatan SMA (aliyah), yang nama-nama hari
dalam bahasa Inggris pun tidak hafal.
Jadi, kalau ada
yang menganggap saya sejak awal menyiapkan anak saya untuk di Jawa Pos, sungguh
tidak demikian maunya. Saya justru mau anak saya bekerja di luar negeri dulu.
Lalu jadi pengusaha yang mandiri. Ketika hal ini saya kemukakan kepada Azrul,
dia balik bertanya: saya harus cari uang? Saya mau jurnalistik, katanya.
Apakah saya
menyesal? Ya dan tidak. Tapi, ada juga yang menilai bahwa saya harus bersyukur
karena ada anak yang masih punya idealisme di bidang jurnalistik. Menyikapi
kedua penilaian itu saya pasrah saja. Yang terjadi, terjadilah.
Sepulang dari
USA anak-anak saya praktis jadi dirinya sendiri-sendiri. Termasuk tidak mau
lagi tinggal bersama kami di rumah. Mereka pilih tinggal di rumah sendiri.
Mereka sudah terbiasa mandiri.
Baru ketika saya
sakit ini, mereka sering menemani saya. Kami pun sering dalam keadaan lengkap
berada dalam satu ruangan: saya, istri saya, dan anak-anak saya. Sekarang
ditambah dengan menantu-menantu dan seorang cucu. Eh, seorang cucu dan calon
seorang cucu lagi.
Justru ketika
sakit ini saya seperti menemukan keluarga saya. "Ternyata saya punya
anak," gurau saya kepada keduanya. "Ternyata kita punya bapak,
ya," kata Isna kepada kakaknya. Sambil tertawa cekikikan. Suasana yang
sangat mengurangi rasa sakit saya selama di ICU.
Lebih
menggembirakan lagi, siang itu dua selang yang masuk ke rongga dada lewat leher
kanan saya juga dicabut. Lubang bekas selang-selang itu lantas ditutup dengan
plester. Dua hari kemudian lubang itu sudah menutup.
Kelak, ketika
sudah berada di kamar biasa, saya masih sering meraba-raba bekas lubang di
leher itu. Saya masih punya pikiran jangan-jangan lubangnya masih menganga.
(bersambung)
September 4,
2007
Meski Keluar
ICU, Jangan Anggap Sudah Merdeka
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (10)
SEPANJANG sore
sampai malam (hari kedua di ICU), perut saya mulai merasa kembung. Sangat tidak
enak. Oh, rupanya saya belum bisa buang air besar. Juga belum bisa buang angin.
Ini saya sadari setelah beberapa kali perawat menanyakan soal yang kelihatannya
sepele itu. Makanya perut seperti penuh sekali. Penuhnya bukan hanya di perut,
tapi seperti sampai dada. Sepanjang malam saya tidak bisa tidur.
Itu membuat
pikiran saya lari ke mana-mana. Termasuk ke liver baru saya. Saya berkhayal
sedang apakah dia? Lagi saling berkenalan dengan organ saya yang lain, atau lagi
pasang kuda-kuda untuk saling bermusuhan? Apakah liver baru itu sedang
tawar-menawar pekerjaan dengan organ lain? Apakah liver baru itu sedang
mengajukan syarat-syarat kerja sama? Misalnya, hanya akan mau bekerja sama
kalau tetap dibolehkan makan babi? Atau dia begitu baiknya sehingga akan ikut
saja peran apa yang harus dia jalankan?
Yang tak kalah
penting adalah perbedaan umur yang mencolok antara liver baru dan organ saya
yang lain. Apakah tidak akan menimbulkan persoalan? Misalnya, terjadi generation
gap yang tajam? Bukankah liver baru itu belum sampai berumur 25 tahun, apakah
tidak akan mengajak balapan organ lain seperti jantung, paru, dan ginjal? Kalau
organ-organ lain saya sudah berumur 56 tahun, apakah tidak akan terjadi konflik
anak-bapak yang diakibatkan perbedaan zaman? Juga perbedaan gaya hidup? Apakah
tidak akan terjadi adu balap? Apakah jantung tua saya kuat melayani balapan
itu? Panjang sekali khayalan saya. Bukan khayalan yang ilmiah. Khayalan orang
yang tidak bisa tidur saja.
Paginya, hari
ketiga di ICU, barulah saya "rasa" itu muncul. Saya panggil perawat.
Ternyata untuk urusan buang air besar ini ada perawat khusus. Dia perawat yang
berbaju biru, yang sudah lebih tua umurnya. Dialah yang memasang tadah kotoran
dan membersihkannya. Urusan buang hajat pun selesai. Setelah itu tiba-tiba saya
merasa seperti ingin buang angin banyak-banyak. Maka suara bom pun
bergelegaran. Semua dicatat oleh perawat. Pagi itu juga diputuskan saya boleh
keluar dari ICU. Rupanya keluar atau tidak dari ICU, salah satu ukuran yang
menentukan adalah ada atau tidaknya "rasa" tadi.
Kalau saja pagi
itu saya belum punya "rasa", akan dilakukan rekayasa. Perut saya akan
dimasuki cairan lewat pantat. Untunglah saya tidak perlu melalui tahapan
darurat itu. Mekanisme tubuh saya, dengan organ baru di dalamnya, berjalan
dengan normal. Semua berjalan natural.
Satu jam
kemudian persiapan mengeluarkan saya dari ICU dilakukan. Selang yang sudah 56
jam berada di lubang kemaluan saya dicabut. Agak sakit rasanya. Tapi, kan tetap
harus dicabut? Sakit tapi lega. Lega tapi memang sakit. "Kencing pertama
sampai ketiga nanti mungkin agak sakit," kata perawat setelah berhasil
mencabut selang itu.
Kata-kata itu
terus melekat di ingatan saya. Sampai-sampai timbul rasa takut setiap merasa akan
kencing. Tapi, sakitnya seperti apa kan belum dirasakan. Ya, saya harus
merasakannya, karena saya toh harus kencing. Ternyata rasa sakitnya tidak
seberat yang saya bayangkan. Atau barangkali karena saya sudah merasakan yang
paling sakit, sehingga sakit-sakit kelas seperti itu sudah saya anggap bukan
sakit lagi.
Lalu, selang
yang masuk ke rongga perut melalui pinggang kanan juga dicabut. Rasanya juga
sakit, tapi sakit yang menimbulkan kelegaan. Alat untuk mengukur tekanan darah
juga dilepas. Kabel-kabel yang menempel di dada kanan dan dada kiri dicabut.
Juga kabel-kabel yang dihubungkan ke ujung-ujung jari. Semuanya hilang sudah.
Rasa plongnya bukan main. Apalagi, kalau saya ingat banyak pasien yang keluar
ICU masih dengan selang yang menancap di leher. Saya pun sebenarnya sudah
membayangkan akan keluar ICU dalam keadaan seperti itu. Tapi, ternyata tidak.
Saya bersyukur.
Sekitar pukul
10.00 saya sudah dipindahkan dari ranjang ICU ke kereta angkut. Kereta ini
dilengkapi sistem hidrolis. Ini untuk memudahkan memindah badan saya dari
ranjang ICU. Tidak perlu ada orang yang mengangkat, yang bisa saja membuat
badan saya berubah posisi dan menimbulkan bahaya bagi bekas-bekas operasi. Dari
kereta itu secara otomatis menjulur sebuah papan besi menyekop ke bawah badan
saya. Badan saya terbawa di atasnya. Kereta ini yang membawa saya turun ke
lantai 11, ke kamar lama saya yang sudah dibuat bersih sebersih-bersihnya.
Dalam proses
keluar dari ICU itulah saya baru tahu bahwa ruang ICU ini amat-amat panjangnya.
Memang seluruh lantai 12 adalah ICU. Tiap pasien dapat satu kapling yang
dibatasi dengan kaca terhadap pasien lain. Rumah sakit ini memang bisa
melakukan transplantasi organ sebanyak 30 orang dalam waktu bersamaan. Berarti
ruang ICU-nya memang harus banyak sekali.
Tiba di lantai
11, para perawat menyambut. Perawat yang sudah tiga bulan lebih saya kenali
dengan baik. Kini saya diserahterimakan dari perawat ICU ke perawat ruang rawat
inap. Mereka segera membuat lubang baru di lengan saya untuk keperluan
infus-infus berikutnya. Tiap hari saya masih harus diinfus beberapa obat dan
vitamin. Mula-mula tiga jam sehari. Lalu tinggal dua jam. Lalu satu jam. Lalu
tidak perlu infus sama sekali.
Pasien lain yang
belum operasi menyambut kepulangan saya dari ICU. Sebelah kamar saya, orang
Jepang, melambaikan tangan. Dari kamar yang lain, orang Arab Saudi, mengucapkan
salam. Pasien dari Taiwan mengucapkan selamat atas kesuksesan operasi saya.
Saya sendiri sudah sering memberikan ucapan selamat seperti itu kepada pasien
yang baru menjalani operasi sebelum saya.
***
"Meski
sudah keluar ICU, jangan Anda anggap sudah merdeka," ujar Robert Lai,
teman saya itu. Dia lantas menakut-nakuti saya dengan kisah banyaknya pasien
yang sukses dalam menjalani operasi, tapi gagal menjauhkan diri dari virus dan
infeksi. Terutama di seminggu pertama keluar dari ICU.
Seorang kenalan
dari Pakistan terkena infeksi setelah tiga hari keluar ICU. Terpaksa perutnya
dibuka lagi. Diadakan perbaikan lagi di dalamnya. Contoh lainnya, ada pasien
yang merasa kuat dan jalan sendiri ke kamar mandi. Dia terjatuh dan harus masuk
ICU lagi.
Masih sederet
contoh tragedi seperti itu. Termasuk yang nekat pulang meski baru satu bulan
setelah operasi. Memang sudah diizinkan pulang. Tapi, harus balik lagi ke
Tiongkok tiga bulan kemudian. Yakni, untuk mengambil "barang" yang
masih dititipkan di dalam. Orang tersebut merasa sudah sangat normal. Lalu ke
rumah sakit di negaranya sendiri untuk mengeluarkan "barang titipan
sementara" itu. Sayangnya, proses tersebut tidak mulus. Dia terkena
infeksi.
Setelah tidak
bisa diatasi di negaranya, terpaksa balik lagi ke rumah sakit ini. Tapi,
keadaannya sudah sangat payah. Berbagai usaha sudah disiapkan, termasuk akan
dilakukan transplantasi liver lagi. Namun, dia harus menunggu kondisi badannya
membaik dulu. Kondisi yang ditunggu itulah yang tidak datang. Akhirnya dia
meninggal dunia di rumah sakit ini bulan lalu.
Saya
mendengarkan baik-baik nasihat itu. Robert tahu saya sering maunya sendiri.
Tapi, kali ini dia kecele. Saya sudah bertekad akan taat peraturan
setaat-taatnya. Saya hanya minta kelonggaran dua saja. Pertama, boleh membuka,
membaca, serta membalas dan mengirim email. Kedua, boleh mulai menulis cerita
ini. Sebab, apa yang mau saya tulis ini semuanya sudah lengkap dan memenuhi
kepala saya.
Apa saja yang
akan saya tulis, berapa seri tulisan itu nanti, tiap seri harus dibuka dengan
kalimat apa dan ditutup dengan cara bagaimana, semua sudah ada di kepala. Kalau
tidak segera saya tuangkan di komputer, tekanan darah bisa naik. Itu
membahayakan hasil operasi. Sebab, obat sinkronisasi liver baru saya punya efek
samping menaikkan tekanan darah. Kalau ditambah dengan penuhnya bahan tulisan
di otak saya, apakah tekanan darah tidak akan semakin tinggi?
"Itu logika
Anda saja. Anda bukan dokter. Itu alasan Anda saja untuk diperbolehkan
menulis," ujar Robert Lai. "Mana ada baru tujuh hari setelah
transplantasi liver sudah memeras otak untuk menulis begitu panjang?"
sergahnya. Saya mengakui Robert benar. Tapi, saya tetap bermohon untuk dapat
dispensasi melakukan dua pekerjaan itu. (bersambung)
September 5,
2007
Mulai
Berdiri, Bergurau soal Liver, Dimarahi Saudara di Desa
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (11)
JANGAN begini.
Jangan begitu. Banyak sekali peringatan yang disampaikan kepada kami sebelum
pertama saya turun dari tempat tidur. Itu hari kelima setelah operasi atau hari
kedua setelah keluar dari ICU. Misalnya, jangan sampai langsung berdiri. Bisa
tiba-tiba pusing dan jatuh.
Harus duduk
lebih dulu. Tenang beberapa saat untuk lihat-lihat keadaan. Kalau tidak pusing,
bisa diteruskan dengan turun dari tempat tidur dan mencoba berdiri. Maklum,
sudah lima hari saya terus dalam posisi berbaring. Juga lima hari tidak makan.
Meski ada cairan infus yang menggantikannya. Tidak sedikit kasus pasien jatuh
saat pertama mencoba berdiri. Harus ada orang yang memegangi.
Saya masih dapat
peringatan tambahan. Tepatnya bukan peringatan, tapi pertanyaan. Datangnya dari
dalam diri saya sendiri. Kalau saya nanti berdiri, apakah liver baru saya tidak
jatuh? Apakah sambungannya sudah kuat? Tali apakah yang dipakai untung
menggantung liver baru itu? Setengah serius, setengah bergurau. Saya memang
suka bergurau. Kalau sedang tidak ada yang ditertawakan, saya sering mencoba
menertawakan diri sendiri.
Kekhawatiran-ngawur
saya itu saya SMS-kan ke beberapa teman. Untuk memberikan gambaran bahwa saya
sudah bisa bergurau lagi. Sekaligus memberi kabar baik mengenai kemajuan demi
kemajuan yang saya peroleh. "Hari ini saya sudah diharuskan mulai turun dari
tempat tidur. Bahkan sudah harus latihan berdiri. Tapi, saya lupa bertanya
kepada dokter apakah tali yang dipakai menggantung liver baru saya cukup kuat.
Saya takut liver baru saya jatuh," tulis saya.
Jawaban dari
beberapa teman berdatangan. Margiono, Dirut Rakyat Merdeka yang lucunya bukan
main, kontan membalas. "Ha ha… Kalaupun jatuh, masih di perut. Masih mudah
mencarinya," kata Margiono yang pandai mendalang itu. Saya tertawa. Bahkan
ingin tertawa lebar. Tapi, jahitan di perut yang panjaaaang ini masih basah.
Kalau dibuat tertawa masih sakit. Dan lagi, jangan-jangan kalau teralu banyak
tertawa, jahitannya bisa mrotoli.
Leak Kustiya,
redaktur pelaksana Jawa Pos yang pendiam, tapi humornya sering cerdas,
menimpali Margiono. "Yang bahaya kalau jatuhnya di dekat pasar loak,"
tulisnya. Sekali lagi, saya harus menahan tawa. Mas Goenawan Mohamad, pendiri
majalah TEMPO yang juga amat humoris, menambahkan: "Ha ha. Saya justru
takut hati baru itu jatuh di rumah Gong Li." Gong Li adalah artis yang
paling terkenal dan konon juga paling cantik di antara artis Hongkong.
"Lebih berbahaya daripada jatuh di dekat pasar loak," tambahnya.
Humor khas
Surabaya datang dari Jamhadi, kontraktor yang membangun gedung Jatim Expo dan
asrama mahasiswa Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. "Kalau sampai
jatuh di rumah Gong Li, sih itu bukan jatuh. Tapi njatuh," tulisnya. Kata
njatuh, bagi orang Surabaya lucu sekali. Tapi, mungkin tidak bisa dipahami di
luar Surabaya.
Masih banyak SMS
yang masuk di sekitar jatuh-menjatuh itu. Tapi, empat itulah yang saya pilih
sebagai yang paling lucu. Diam-diam saya sudah bisa menjadi juri lomba humor di
hari kelima setelah operasi saya. Saya juga lega bahwa hati saya yang baru
tenyata tidak mengubah selera humor saya.
Dan memang,
begitu saya berdiri, tidak ada suara benda jatuh. Padahal, kalau toh jatuh, apa
juga bersuara?
Keceriaan saya
hari itu padam manakala masuk SMS dari keluarga saya di desa, 16 km dari Kota
Magetan. Dia marah. "Nyawa kok dibuat guyonan," tulisnya.
Dia marah karena
seharusnya saya tidak berhenti berdoa minta keselamatan dan kesembuhan dari
Tuhan. Tidak guyon seperti itu. "Kita di sini tidak henti-hentinya berdoa,
Mas Dahlan sendiri guyon. Tidak pantas," tambahnya.
Lalu, saya SMS
ke Ir Agus Mustofa, penulis buku Takdir Bisa Diubah yang laris itu.
"Apakah ada perintah untuk memperbanyak doa?" tanya saya. Soalnya,
saya tidak pernah membaca ada ajaran seperti itu. Bahkan, seperti yang sudah
saya utarakan di bab terdahulu, sedikit-sedikit berdoa seperti kita ini malas
berusaha, malas menggunakan pemberian Tuhan yang amat penting itu: otak.
"Tidak ada
perintah memperbanyak doa," balas Agus segera. "Yang ada hanyalah
’Mintalah kepada-Ku, pasti Aku kabulkan’," tambahnya. "Yang
diperintahkan beberapa kali adalah perbanyaklah mengingat Tuhan (zikir) dan
perbanyaklah berbuat baik," ujar Agus.
Ada alasan lain
mengapa saya memilih sumeleh kepada Tuhan daripada sedikit-sedikit minta
sesuatu kepada-Nya. Saya pernah belajar ilmu mantiq (logika) sewaktu di
Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan. Pesantren
keluarga kami sendiri. "Berdoa itu," menurut ilmu mantiq, "pada
dasarnya adalah memerintah Tuhan". Misalnya, doa ini: Ya Tuhan,
masukkanlah saya ke surga. Bukankah, menurut ilmu itu, sama dengan kita
memerintah Tuhan agar memasukkan kita ke surga? Bukankah kata
"masukkanlah" itu "kata perintah?". Hanya, dikemas secara
halus dalam wujud yang bernama doa? Mengapa kita selalu memerintah Tuhan untuk
memasukkan kita ke surga? Mengapa tidak kita sendiri berusaha sekuat tenaga,
misalnya, dengan jalan banyak beribadah (termasuk kerja keras)?
Ilmu inilah yang
juga saya bawa ke praktik manajemen. Kalau ada karyawan yang sedikit-sedikit
mengeluhkan atasannya, biasanya saya menasihatinya berdasar ilmu mantiq itu.
Tentu sebelum mengucapkan kata-kata tersebut saya berpesan agar jangan
membicarakan istilah saya ini dengan orang lain. Orang yang tidak pernah
belajar ilmu mantiq bisa salah paham.
Kata saya kepada
karyawan yang suka mengeluhkan atasannya itu: "Kita ini bisa dan sering
memerintah…., mengapa memerintah atasan yang masih bernama manusia saja tidak
bisa?" Takut juga saya mengisi "titik-titik" itu. Takut orang
salah paham. Padahal, guru ilmu mantiq saya dulu, KH Hamim Tafsir, tidak pernah
takut mengatakan apa adanya.
Saya harus
mengenang guru saya itu. Dia sudah terpaksa jadi kiai ketika masih amat remaja.
Ini karena enam kiai utama di pesantren kami (yang tidak lain paman-paman ibu
saya) dibunuh orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Demikian juga guru-guru
terkemuka lainnya, termasuk guru yang didatangkan pesantren kami dari Mesir.
Mereka dimasukkan sumur hidup-hidup, lalu ditimbuni batu. Itu tahun 1948,
ketika meletus peristiwa Madiun yang terkenal dalam sejarah itu. Sejak itu,
pesantren kami yang sangat maju dan terkemuka mengalami kemunduran.
Saya lantas
memanfaatkan ilmu mantiq itu dalam praktik manajemen. Intinya: seorang bawahan,
kalau memang cukup cerdas, harus bisa membuat atasannya memenuhi keinginannya.
Tidak harus selalu keinginan atasan yang berlaku. Semua itu tinggal soal cara.
Soal kemampuan kita memanajemeni atasan. Kalau seorang bawahan tidak mampu
melakukan itu, berarti bukan bawahan yang cerdas. Saya tidak akan menaikkan
karir bawahan yang seperti itu. Jadi, bawahan itu sebenarnya juga boleh
me-manage atasan. Bukan hanya atasan yang bisa me-manage bawahan. Sekali lagi,
ini soal cara. Kepada Tuhan, kita menggunakan cara yang disebut berdoa. Kepada
atasan, mungkin dengan gaya "bermohon atau minta petunjuk atau mengiba
atau apa sajalah". Yang penting, keinginan kita yang kita yakini benar
bisa dipenuhi oleh atasan.
Banyak manajer
saya yang kemudian tidak mudah mengeluhkan "ketidakmampuan
atasannya". Dia mencari jalan beraneka cara untuk mencoba bisa me-manage
atasannya dengan bijak. Demikian juga tidak lagi banyak staf yang mengeluhkan
rekan kerjanya. Mengeluh berarti tidak cerdas.
Bukankah kepada
sesama rekan staf, kita bisa menggunakan gaya "minta tolong". Bahkan,
kepada bawahan pun kata "minta tolong" akan lebih efektif daripada
kata "saya perintahkan" -meski atasan berhak memerintah bawahan.
Jadi, kepada Tuhan kita berdoa, kepada atasan kita bermohon, kepada sesama kita
minta tolong, dan kepada bawahan… teserahlah mau pakai yang mana. Tentu tidak
pas kalau kepada bawahan Anda mengatakan, "Saya berdoa kepadamu
mudah-mudahan engkau mau membersihkan kamar kecil itu lebih bersih lagi."
Tapi, saya sering juga menggunakan gaya ini kalau hati sudah amat jengkel
melihat kamar kecil yang kotor.
Di kantor-kantor
Grup Jawa Pos, saya memang melarang pembuatan kamar kecil khusus di ruang
pimpinan. Ini agar pimpinan juga menggunakan kamar kecil umum. Bukan saja agar
sesekali bertemu bawahan di forum itu, tapi juga agar bisa ikut mengontrol
kebersihan kamar kecil umum.
Ilmu mantiq
ternyata banyak membantu saya dalam menjalankan praktik manajemen. Dan saya
dengar di kurikulum madrasah aliyah sekarang ini, tidak ada lagi mata pelajaran
ilmu mantiq itu.
Saya sendiri
kini masih terus berpikir bagaimana saya bisa me-manage liver baru saya. Saya
sudah bermohon kepadanya untuk jangan sekali-kali kangen akan daging babi.
Tapi, kalau dia lebih pintar dan mampu me-manage saya agar saya mau memenuhi
keinginannya, itu baru persoalan. Saya membayangkan dia memang pernah belajar
kungfu, tapi saya berharap liver baru saya itu belum pernah belajar ilmu mantiq
untuk mengalahkan saya. (bersambung)
September 6,
2007
Perawat
Sekaligus Menjadi Polisi Penjaga Virus
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (12)
KELUAR dari ICU
tidak berarti merdeka. Justru harus lebih hati-hati. Ini karena ruang biasa
tidak dilengkapi peralatan monitor yang serbaotomatis. Padahal, terlalu banyak
kasus kegagalan transplantasi liver terjadi justru pada minggu pertama setelah
keluar dari ICU. Yakni, ketika pasien terkena infeksi.
Kini ancaman
kegagalan transplantasi liver bukan lagi seperti dulu. Bukan lagi akibat badan
menolak kedatangan liver baru. Untuk mengatasi penolakan itu, kini sudah ada
obat yang sangat modern. Obat yang menyinkronkan liver baru dan organ-organ
lain yang lama.
Infeksilah yang
banyak mengakibatkan kegagalan. Bahkan, kemungkinan infeksi pun kini sudah bisa
diturunkan maksimal karena adanya cara baru. Termasuk yang diterapkan kepada
saya. (Akan ada uraian tersendiri untuk ini di bab-bab berikutnya. Termasuk bab
mengapa liver saya sakit. Apa sebabnya. Mengapa tidak bisa ditanggulangi.)
Untuk menjaga
jangan sampai terjadi infeksi itulah, monitoring dilakukan ketat. Kalau toh
terjadi, bisa diketahui secara dini, sejak masih dalam bentuk gejala. Karena
itu, suhu badan diukur tiap dua jam. Demikian juga tekanan darah dan denyut
jantung. Kebetulan, suhu badan saya sangat menggembirakan. Selalu antara 35,5
sampai 36,7 derajat Celsius. Sangat prima. Tidak sekali pun dalam minggu
pertama itu suhu badan saya naik di atas angka itu. Ini pertanda bahwa infeksi
tidak terjadi di dalam tubuh saya.
Memang, semua
orang yang masuk ruang saya harus taat akan peraturan ini. Lalu, ada
"polisi" keras yang menjaganya: Robert Lai. Semua harus menggunakan
masker penutup mulut dan hidung. Jangan sampai orang yang menjenguk menularkan
virus yang sangat membahayakan.
Tiap pagi, saya
juga di USG. Bukan takut hamil, tapi khawatir jangan-jangan ada yang tidak
beres pada sambungan-sambungan pembuluh darah lama dan baru. Juga untuk melihat
apakah ada genangan air atau darah di dalam rongga perut saya. Termasuk untuk
melihat apakah ada masalah pada ginjal saya.
Hasil USG tiap
hari itu menunjukkan tidak ada tanda-tanda kegagalan penyambungan liver baru
saya. Maka, pada hari kelima, USG tidak lagi dilakukan. Lega rasanya meski baru
lega tahap satu. Pada hari pertama di luar ICU, paru saya juga dironsen. Ini
untuk melihat apakah ada genangan air atau dahak di paru-paru. Hasil ronsen itu
juga menggembirakan. Paru-paru bersih.
Tapi, saya harus
minum obat penyinkron liver baru. Biasa juga disebut obat antirejection. Anti
penolakan terhadap liver baru. Obat ini berupa kapsul kecil-kecil tiga butir,
diminum dua kali sehari. Namanya afk. Obat ini memang punya efek samping yang
kuat. Yakni bisa membuat gula darah dan tekanan darah naik. Karena itu, sebelum
makan, harus diukur dulu tekanan darah dan gula darah. Setelah makan, diukur
lagi. Ujung jari saya di-"ceklik" beberapa kali sehari untuk
mengeluarkan sedikit darah. Untuk dites kadar gulanya. Pada hari pertama, gula
darah saya 17 (sebelum makan). Ini sangat-sangat tinggi. Bukan karena pankreas
saya tidak berfungsi, melainkan karena afk tadi. Karena itu, sebelum makan,
saya disuntik dulu untuk menurunkannya.
Pada hari
ketiga, gula darah saya sudah normal. Sekitar 4 sampai 6,5 (sebelum makan).
Karena itu, pada hari berikutnya, tidak diperlukan lagi pemeriksaaan gula
darah. Sewaktu saya kemukakan kekhawatiran saya akan tingginya gula darah itu,
dokter meminta saya tidak waswas. "Itu hanya karena efek obat. Bukan
karena fungsi pankreas yang jelek. Pankreas Anda sempurna," kata dokter.
Tekanan darah
saya juga tinggi jika dibandingkan dengan sebelum operasi. Bangun tidur bisa
mencapai 90/140. Tapi, ini juga karena pengaruh obat saja. Siang sedikit,
sampai malam, selalu antara 80/120 sampai 85/130. "Kita akan terus
memonitornya," ujar dokter. Sedangkan denyut jantung sangat normal, antara
76 sampai 85. "Banyak juga yang sukses operasinya, tapi tidak kuat
jantungnya," ujar seorang suster. Untuk itu pun, tidak perlu takut karena
ada obatnya.
Selain obat anti
penolakan itu, saya juga harus minum beberapa obat lainnya. Tapi, kali ini saya
tidak bertanya obat apa saja itu, apa kegunaannya, dan apa efek sampingnya.
Kali ini saya serahkan saja sepenuhnya pada keahlian dokter. Padahal, dulunya
saya amat cerewet kalau diberi obat. Saya harus tahu persis apa-siapanya.
Bahkan, sering saya cek lagi kebenarannya lewat internet. Tapi, kali ini saya
putuskan "tidak akan jadi dokter untuk diri saya sendiri". Pertama,
karena saya memang bukan dokter. Kedua, banyak juga yang logika saya ternyata
salah. Misalnya, bayangan saya akan transplantasi liver sama sekali berbeda
dengan kenyataan dalam praktiknya.
Apalagi keadaan
badan saya terus membaik sehingga saya semakin percaya saja pada keputusan
dokter.
Mengingat
indikator-indikator badan saya sudah begitu baik, pada hari keenam, obat
sinkronisasi itu dikurangi 30 persen. Kini tinggal dua kapsul kecil sekali
minum, dua kali sehari. Obat ini merupakan obat terpenting dalam menjaga
keberhasilan transplantasi liver. Untuk meminumnya, ada petunjuk khusus
mengenai waktunya. Kalau sudah ditetapkan jam enam pagi dan malam, harus tetap
seperti itu. Tidak boleh terlambat. Juga tidak boleh dipercepat. Apalagi lupa,
sama sekali tidak boleh. Bagaimana kalau lupa juga? Tetap, tidak boleh lupa.
Dalil "manusia itu tempatnya salah dan lupa" tidak berlaku di sini.
Agar tidak lupa
itulah, diciptakan sistem kontrol. "Trust is good, but control is
better," ujar Robert Lai, ahli hukum dari Singapura lulusan Inggris itu.
Dia orang yang amat disiplin. Sudah sebelas bulan ini selalu menemani saya
pergi ke mana pun. Untuk mewujudkan prinsip yang dipegangnya itu, dia
memutuskan menempatkan perawat khusus di kamar saya. Selama 24 jam sehari.
Yakni, perawat yang khusus melayani kepentingan saya selama 24 jam. Terutama
menjaga ketepatan waktu minum obat, menjaga kebersihan pakaian, handuk, air,
dan kamar. Juga memandikan saya.
Rumah sakit ini
punya semacam unit usaha yang menyediakan jasa perawat khusus seperti itu.
Orangnya umumnya sudah agak tua, sabar, dan punya keterampilan sebagai perawat.
Mereka memang para pensiunan perawat yang masih ingin terus bekerja. Karena
itu, untuk mengukur tekanan darah, suhu badan, dan pekerjaan sejenis itu,
perawat khusus tersebut yang melakukan.
Perawat itu
disiplinnya bukan main. Kalau sudah waktunya minum obat, apa pun harus kalah.
Tepat jam enam, dia memaksa saya minum obat. Tidak kurang satu menit pun atau
lebih satu menit pun. Petunjuk itu memang sudah diberikan jauh-jauh hari
sebelumnya sehingga saya juga tahu pentingnya kedisiplinan meminumnya.
Kehadiran
perawat khusus seperti itu amat penting karena belum tentu keluarga kita
mengetahui detail mengenai pengobatan. Dia sudah hafal jenis-jenis obat yang
disediakan dan jam-jam penggunaannya. Dia akan melakukan cek ulang, apakah obat
yang diberikan lengkap atau tidak. Salah atau tidak.
Jasa mereka itu
juga penting karena ternyata banyak juga pasien yang tidak ditunggui
keluarganya. Saya lihat beberapa orang Jepang, masuk ke ruang operasi tanpa satu
pun ada anggota keluarga yang mengantarkannya.
Mengingat begitu
banyak pasien ganti liver yang pernah mereka rawat, pengalaman para perawat
khusus ini sangat banyak. Dia menjadi seperti perawat spesialis pasien ganti
liver. Dia tahu persis gejala-gejala yang baik dan gejala-gejala yang kurang
baik dalam perkembangan pasien. Dan bagi saya, dia juga guru bahasa Mandarin.
Sebab, dia memang hanya bisa berbahasa Mandarin, bahkan dengan logat yang
sangat daerah. Berarti 24 jam saya bisa belajar Mandarin secara tidak langsung.
Perawat itu juga
menjadi polisi penjaga virus. Dia yang juga ikut mengawasi orang keluar masuk
kamar. Yang tidak pakai masker, dia tegur. Robert memang menugaskan itu khusus
kepadanya. "Kalau ada dokter masuk yang tidak pakai masker, tentu Anda
tidak berani menegur. Jangan ditegur. Tapi, Pak Dahlannya yang kamu pasangi
masker," pesan Robert kepadanya. Robert, meski bahasa pertamanya adalah
Inggris, bisa bicara Mandarin dan beberapa bahasa daerah di Tiongkok.
Untungnya, tidak pernah ada dokter yang tidak disiplin.
Bahkan, Melinda
dan suaminya sampai membuka sepatu ketika masuk ruang saya. Semula Melinda dan
suaminya hanya ingin menengok saya karena kebetulan lagi di Tiongkok. Tahu
kalau saya segera operasi, dia memtuskan menunggu saya sampai beberapa hari
setelah operasi. Bahkan, dia ikut melakukan "operasi nonteknik" pada
malam menjelang operasi.
Ketika saya beri
tahu tidak perlulah masuk kamar sampai copot sepatu, bos Pakuwon Jati itu
mengatakan, "Kamar ini harus lebih bersih daripada sepatu saya." Saya
tahu sepatunya amat mahal dan tentu juga amat bersih. Tapi, dia tetap copot
sepatu. "Saya tidak mau dituduh sebagai pembunuh Pak Dahlan,"
katanya. "Dia lao da saya. Masak saya harus jadi pembunuh saudara tua
saya," tambahnya. (Bersambung)
Boleh Tak
Mengaku, 25 Juta Orang Menghadapi seperti Saya
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (13)
MENGAPA saya
harus menjalani transplantasi liver?
"Karena
sudah ada kanker di liver saya dan sudah mulai menyebar ke beberapa tempat
meski semuanya masih di dalam liver."
Mengapa ada
kanker di liver saya?
"Karena
liver saya sudah tidak normal, sudah mengecil, mengeras, dan rusak. Istilahnya,
sudah mencapai tahap terjadi sirosis."
Mengapa liver
saya bisa sirosis?
"Karena
saya mengidap virus hepatitis B, yang gagal saya usir atau saya matikan. Virus
itu menjadi aktif dan merusak liver karena kondisi badan saya sering sangat
lelah. Saat badan lemah, virus yang semula tidur saja di dalam liver punya
kesempatan melakukan aksinya tanpa perlawanan yang berarti dari badan saya yang
sedang lemah."
Mengapa sering
lelah?
"Masak itu
ditanyakan. Bikin saya malu. He… he…."
Kenapa ada virus
hepatitis B di liver saya?
"Karena
liver saya tidak kebal ketika virus untuk pertama kalinya datang dan masuk ke
dalam liver saya."
Kenapa badan
saya tidak kebal?
"Karena
saya tidak pernah menjalani vaksinasi antihepatitis B saat saya masih
bayi/kecil."
Kenapa waktu itu
tidak menjalani vaksinasi?
"Karena
tidak tahu."
Kenapa tidak
tahu?
"Karena
tidak berpendidikan dan tidak cukup pengetahuan. Juga karena negara waktu itu
masih sangat miskin dan pemerintah sibuk mengurus politik atau rebutan
posisi."
Soal pemerintah
tidak perlu ditanyakan lebih lanjut. Tapi, kenapa Anda tidak berpendidikan dan
tidak cukup pengetahuan?
"Karena
miskin sekali. Keluarga saya, hampir semuanya, petani atau buruh tani."
Kenapa miskin?
"Karena
tidak berpendidikan."
Kenapa tidak
berpendidikan?
"Karena
miskin!"
***
Itu bukan
kata-kata juru penerang PKK yang setelah zaman reformasi tidak lagi berperan
aktif, tapi akan sangat baik kalau dipakai menyadarkan ibu-ibu untuk
memvaksinkan bayinya agar kebal terhadap virus hepatitis B.
Sebab, sekitar
10 persen penduduk kita terkena hepatitis B. Soal jarang yang mengakui, itu
soal lain. Artinya, sekitar 25 juta orang sedang menghadapi masa depan seperti
saya. Padahal, belum tentu semuanya mendapatkan kesempatan sebaik saya: bisa
menjalani transplantasi liver. Kalau toh banyak yang mampu, belum tentu
operasinya bisa berhasil.
Kesempatan
menjalani transplantasi juga kian kecil. Tiap negara kini cenderung melindungi
rakyatnya sendiri sehingga, seperti yang dilakukan Tiongkok saat ini, liver
yang ada harus diprioritaskan untuk penduduk Tiongkok sendiri. Ini sangat wajar
karena persoalan seperti ini akan bisa jadi isu nasional di negara tersebut.
"Di Tiongkok sendiri kini terdapat 120 juta orang yang mengidap hepatitis
B," ujar Deputi Menteri Kesehatan Tiongkok Hao Yang saat melakukan
kampanye vaksinasi hepatitis B pekan lalu seperti yang disiarkan China Daily 1
September barusan. Hao Yang lantas mengutip angka dari Samuel So, direktur
Asian Liver Centre di Stanford University AS, bahwa 40 persen di antara segala
macam penularan virus terjadi dari ibu ke anaknya.
Maka, pencegahan
sangat penting. Di Tiongkok, seluruh bayi sejak 1982 harus tiga kali divaksin
antihepatitis. Tiap suntik harga obatnya sekitar Rp 75.000. Seluruhnya
ditanggung negara.
***
Meski ilmu
pengetahuan semakin maju dan keterampilan dokter juga kian sempurna, tapi kalau
sumber donor untuk liver makin terbatas, bagaimana? Bukankah kesempatan untuk
menjalani transplantasi di masa depan kian langka? Termasuk bagi yang mampu
transplantasi sekalipun? Bukankah lantas antrean untuk dapat giliran transplan
kian panjang? Dan kian lama?
Saya sendiri perlu
empat bulan menunggu. Dalam keadaan harus terus siap. Penantian yang tidak
jelas harus berapa lama. Yang juga berarti terus berjalannya argometer biaya.
Empat bulan harus tinggal di luar negeri dan dengan keluarga yang harus
mondar-mandir tentu bukan hal yang sederhana. Padahal, sekali lagi, kita tidak
akan pernah tahu harus menunggu sampai berapa lama. Artinya, juga tidak akan
tahu masih harus berapa banyak lagi uang yang disiapkan.
Dengan logikanya
yang sederhana, istri saya sering nyeletuk. Suatu celetukan yang mungkin juga
mencerminkan rasa jenuh karena begitu lamanya menunggu. "Begini sulit ya
mempertahankan satu nyawa. Kok di Timur Tengah itu tiap hari orang dengan
gampang menghilangkan nyawa," katanya.
Istri saya
lantas menyebut banyaknya orang Timur Tengah yang antre di rumah sakit ini.
"Bukankah di sana banyak sumber liver? Dari mereka yang begitu banyak
meninggal muda itu? Dan pasti lebih pas karena dari ras yang sama?"
celetuk istri saya.
Tentu tidak
sesederhana itu. Ada soal yang bagi orang Islam lebih prinsip. Yakni apakah
boleh, secara Islam, mendonorkan organ tubuh? Apakah boleh organ dari orang
yang baru meninggal diambil untuk menyelamatkan orang lain?
Soal itu di masa
depan tidak hanya akan jadi isu agama. Tapi juga isu keadilan. Isu yang akan
lebih mendominasi masa depan dunia. Bisa jadi, kelak, akan ada aturan bahwa
suatu negara tidak boleh mendonorkan organ kepada penduduk suatu negara yang
negara itu atau penduduknya melarang melakukan donor organ. Misalnya, Indonesia
tidak mendukung digalakkannya donor organ atau penduduk Indonesia mengharamkan
donor organ, maka di masa depan orang Indonesia tidak boleh menerima sumbangan
organ dari warga negara lain.
Kini sudah
terasa gejalanya. Dimulai dari munculnya kebijakan memprioritaskan penduduk
negaranya sendiri. Alasan keadilan lantas memperkuatnya.
Kesadaran
seperti itu akan membuat banyak negara ikut mengubah peraturannya. Tiongkok
sudah mengubahnya empat bulan lalu. Orang asing tidak akan gampang lagi
mendapatkan donor dari penduduk setempat.
Begitu banyak
orang Tiongkok sendiri yang memerlukan transplantasi. Yang terkena hepatitis B
saja mencapai 120 juta orang, sudah sama dengan separo penduduk Indonesia.
Kalau mereka tidak terlayani karena miskin, tidak kuat bayar, maka akan menjadi
isu kesenjangan sosial. Akan menjadi isu politik yang sensitif bagi Tiongkok
yang lagi gencar-gencarnya memerangi kesenjangan sosial.
Belum lagi,
kini, orang kaya di Tiongkok bertambah-tambah dengan drastisnya. Mereka tentu
akan semakin mampu dalam ikut "memperebutkan" donor yang kian
terbatas.
Singapura sudah
lebih dulu membuat aturan seperti itu. Bahkan, melarang sama sekali liver orang
Singapura untuk orang non-Singapura. Sebab, di Singapura sendiri antara
kesediaan liver dan yang memerlukannya jauh lebih banyak yang terakhir.
Awal bulan ini,
diberitakan antrean transplantasi di Singapura sudah sampai 10 tahun. Artinya,
mendaftar sekarang baru akan dapat liver 10 tahun lagi. Karena itu, setiap saat
selalu ada pasien antre yang dicoret dari daftar antre. Mengapa? "Sudah
tidak layak antre. Selama penantian, kondisi badannya sudah semakin
buruk," ujar dr Tong Ming Chuan, saah seorang direktur program
jantung-paru Singapura. "Tiga di antara empat orang yang dicoret dari
daftar antre itu tak lama kemudian memang meninggal," ujar dr Tong
sebagaimana disiarkan The Strait Times 2 September lalu.
Kini, panjang
antrean itu ratusan orang di Singapura. Sebanyak 555 orang antre untuk
transplan ginjal dan 16 orang antre liver. Di antara lima orang yang antre
transplan jantung, tinggal satu yang masih memenuhi syarat dalam daftar. Tapi,
itu tidak berarti bisa cepat dapat giliran. Sebab, donor jantung lebih sulit.
"Donor liver atau ginjal bisa berupa separo organ tersebut. Tapi, donor
jantung harus satu jantung utuh. Ini berarti pendonornya harus meninggal,"
katanya.
Di antara 555
orang itu terakhir, yang 139 orang juga sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk
transplan. Di antara 139 itu pun, diperkirakan yang 22 orang sudah akan
meninggal tidak lama lagi. Sudah terlalu terlambat untuk transplan. Kalau toh
dipaksakan, peluang berhasilnya tipis. Sayang donornya. Mendingan diberikan
kepada pasien yang kans berhasilnya lebih besar. Khusus untuk yang antre liver
saja, tahun lalu enam orang meninggal karena perkembangan sakit livernya lebih
cepat daripada waktu antrenya.
Kini, siapa yang
harus hidup dan siapa yang harus mati ternyata bisa ditentukan oleh dokter.
Karena itu,
Singapura akan melangkah lebih jauh. Peraturan baru sedang disiapkan. Kalau
selama ini organ hanya diambilkan hanya dari orang yang sudah menyatakan
organnya boleh didonorkan, nanti akan dibalik. Menjadi: hanya orang yang
menyatakan keberatan saja, yang organnya tidak bisa jadi donor. "Peraturan
ini juga akan berlaku bagi penduduknya yang beragama Islam," katanya.
Selama ini, aturan transplan selalu dikecualikan bagi yang muslim. Ini terkait
dengan keyakinan agama. Kini kekhususan itu tidak ada lagi.
Artinya, organ
semua orang Singapura secara otomatis boleh diambil setelah dia mati, kecuali
yang keberatan saja. Ini seperti prinsip ushul-fikh (kaidah aturan): semua yang
tidak dilarang berarti dibolehkan. Singapura akan menggunakan prinsip
ushul-fikh itu.
Begitu seriusnya
problem defisit donor itu, sehingga Tiongkok juga akan mengubah peraturan di
bidang kedokteran tentang "kapan seseorang dinyatakan meninggal". Ini
setelah awal Agustus kemarin diperdebatkan di forum para ahli transplantasi di
Beijing. Satu perdebatan yang amat teknis-medis di sekitar saat kematian
datang. Yakni saat-saat kematian batang otak. Saya sendiri tidak paham
istilah-istilahnya. Yang jelas, kalau peraturan lama yang dipakai menentukan
tibanya saat kematian, akan banyak sekali organ yang sudah terlanjur "ikut
mati". Ini akan tidak bisa dimanfaatkan untuk amal jariyah berikutnya.
Maka, aturan menentukan saat kematian itu akan dibuat lebih awal, sebagaimana
yang sudah disepakati di banyak negara maju.
Saya jadi
berpikir dan diskusi lagi dengan diri sendiri. Saat kematian ternyata bisa
diajukan atau dimundurkan walau hanya sesaat. Bagi yang paham ayat Al Kitab
mengenai kematian (idza jaa-a ajal luhum…) tentu satu pekerjaan tersendiri
untuk mendiskusikannya. Terutama apakah yang dimaksud dengan ajal di situ.
(Bersambung)
September 8,
2007
Tersenyum
ketika Dioperasi seperti Menikmati Kemiskinan
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (14)
JELASLAH bahwa
karena kemiskinan dan kejumudan yang melatarbelakangi, saya menderita sakit
liver. Apakah saya menyesali dilahirkan di keluarga miskin? Sama sekali tidak.
Kemiskinan kami adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang juga dialami
banyak orang di lingkungan saya. Bahkan hampir di semua kampung saya. Di
kapupaten saya. Juga di negara saya. Kemiskinan rame-rame. Kami bisa
menikmatinya bersama-sama.
Jadi, jangan
sampai ada yang menyangka bahwa kami sangat menderita. Tidak. Kami miskin bukan
karena harta habis untuk main judi atau untuk mabuk-mabukan atau untuk narkoba.
Kami memang tidak punya harta.
Kalau toh kami
boros, kurang hemat, itu pun jangan disalahkan. Keborosan kami adalah "keborosan-religius".
Juga "keborosan-yang-beradab", yakni boros untuk melestarikan
adat-istiadat.
Kami harus
banyak keluar biaya untuk selamatan Lebaran, kupatan, mauludan, rejeban,
megengan, rebowekasan, dan seterusnya, tapi semua itu kami niati untuk ibadah
-entah apakah seharusnya pakai selamatan segala. Kami sangat menyenangi
selamatan. Terutama saat kami masih kecil. Itulah saatnya kami bisa makan nasi.
Bukan gaplek. Itulah saatnya kami bisa makan telur. Bukan hanya sambal atau
garam. Itulah saatnya kami, kalau nasibnya baik -yakni dapat ambeng yang baik-,
bisa memperebutkan daging ayam secuil. Satu bentuk selamatan di serambi masjid
yang amat kami tunggu-tunggu. Karena itu, kami hafal benar kapan akan ada
mauludan atau megengan. Bahkan sudah kami nantikan sejak berhari-hari
sebelumnya.
Kami juga harus
slametan nyepasari, mitoni, sunatan, wetonan, dan seterusnya. Tapi, itu juga
kami perlukan sebagai wujud donga-katon (doa yang dipersonifikasikan). Karena
itu, harus ada sayur kluwih untuk menandakan bahwa kita ingin rezeki yang
linuwih (berlebih). Juga harus ada cakar ayam untuk lambang doa kuat melangkah.
Pokoknya, semua kami wujudkan dalam makanan seperti seolah-olah kami bisu.
Setiap kupatan,
kami juga harus munjung ke kiai kami. Sesepuh kami. Punjungan itu berbentuk
makanan yang paling istimewa. Ibu membuat lontong yang untuk merebusnya saja
diperlukan waktu 24 jam. Agar lontong masak sempurna dan tidak basi sampai
seminggu pun. Daun pembungkusnya harus daun pisang raja agar harumnya khas.
Sayurnya harus lima macam, salah satunya harus opor ayam. Ibu pandai sekali
bikin opor ayam. Tapi, kami hanya boleh makan sedikit kuahnya. Dagingnya untuk
punjungan. Ibu sudah menyiapkan ayam itu sejak enam bulan sebelum kupatan.
Tentu, kami tidak mungkin mampu membeli ayam. Sering ibu harus membeli dulu
satu telur. Lalu dititipkan ke tetangga untuk bersama-sama ditetaskan di situ.
Lalu dipeliharanlah ayam tunggal itu. Sampai tiba saatnya harus dipotong untuk
dihaturkan kepada kiai kami yang sebenarnya sudah kaya.
Bapak sangat
menjunjung tinggi adat itu. Kiai kami bukan sembarang kiai. Kiai kami adalah
guru-tarikat kami. Guru yang oleh bapak dipercaya sebagai wasilah dalam term
filsafat ahl-dzikr. Tidak ada ahl-dzikr lain di dunia ini kecuali kiai kami
itu. "Ahl-dzikr hanya satu di dunia," kata bapak saya. Ini karena
menurut tata bahasa Arab (nahwu), kata ahl di situ menunjukkan bentuk tunggal
(ism mufrad). Ternyata, semua aliran tasawuf punyai klaim yang sama untuk kiai
mereka sendiri. Tapi, bapak saya tidak tahu itu. Tahunya ya hanya tasawuf
Sathariyah. Dan meyakini bahwa kiainya, KH Imam Mursyid Muttaqien, adalah sang
"ahl dzikr" nan tunggal.
Misalnya saja,
bapak kedatangan tamu yang dulu sesama abdi dalem di rumah kiai tersebut.
Tentu, bapak bicara seenaknya dan penuh guyon dengan tamunya. Tapi, begitu si
tamu mengatakan kedatangannya hari itu diutus sang kiai, sikap bapak otomatis
berubah. Bapak akan langsung bersila, menunduk, dan ngapurancang di depan teman
sesama abdi dalem itu. Bapak langsung menggunakan kata-kata kromo inggil
(bahasa Jawa level tertinggi) dalam percakapan dengan temannya itu. Bapak
langsung merasa sedang berhadapan dengan kiainya sendiri. Bapak adalah idola
kami dalam bersikap tawadluk -hormat kepada sesepuh.
Saya pernah
bertugas mengantarkan punjungan yang aromanya sangat harum itu. Kami berjalan
kaki sejauh 6 kilometer untuk sampai ke rumah sesepuh kami itu. Di jalan, kami
bisa mengira-ngira nikmatnya makanan yang akan kami antar itu karena kami sudah
merasakan rasa kuahnya. Meski kiai tersebut masih paman ibu saya sendiri, kami
dilarang untuk masuk sampai ke dalam rumahnya. Kami hanya boleh mengantar
sampai teras samping rumah pendapa itu.
Kami sungguh
menikmati kemiskinan kami seperti menikmati khayalan mengenai lezatnya opor
ayam yang disiapkan sejak enam bulan sebelumnya itu.
Saya, waktu
kecil, memang hanya punya satu celana pendek dan satu baju, tapi saya masih
punya satu sarung! Jangan remehkan kemampuan sarung ini. Dia bisa jadi apa
saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan,
sampai jadi alat memeras atau menakut-nakuti.
Sarung inilah
pakaian yang, meski hanya satu potong kain, fleksibelnya bukan main. Kalau saya
lagi mencuci baju, sarung itu bisa saya kemulkan di bagian atas badan saya.
Kalau saya lagi harus mencuci celana, sarung itu bisa jadi bawahan.
Kalau kami lagi
cari sisa-sisa panen kedelai di sawah orang kaya, sarung itu bisa jadi karung.
Kalau saya lagi
ingin mendalang (waktu kecil saya suka sekali mendalang, dengan wayang terbuat
dari rumput dan gamelan dari mulut teman-teman), sarung itu saya bentangkan
dengan tiang pendek di kiri kanannya: jadilah dia kelir.
Kalau lagi musim
angin dan kami ingin bermain-main dengan angin itu, sarung kami bentangkan di
atas kepala: jadilah dia layar.
Kalau saya lagi
lomba terjun ke sungai dari atas jembatan, saya ikat ujung sarung itu: jadilah
dia semacam payung parasit.
Kalau perut lagi
lapar sekali dan di rumah tidak ada makanan sama sekali, saya ikatkan kuat-kuat
sarung itu di pinggang: jadilah dia pengganjal perut yang andal.
Saya belum
menemukan bentuk pakaian lain yang fleksibelnya melebihi sarung. Kalau
sembahyang, jadilah dia benda penting menghadap Tuhan. Kalau lagi kedinginan,
jadilah dia selimut. Kalau lagi mau nakut-nakuti anak kecil, jadilah dia
pocongan.
Kalau sarung itu
robek (biasa waktu dipancal kaki saat tidur kedinginan atau saat kena duri
bambu saat mencuri tebu), sarung itu masih bisa dijahit. Kalau di tempat
jahitan itu robek lagi, masih bisa ditambal. Kalau tambalannya pun sudah robek,
sarung itu belum akan pensiun. Masih bisa dirobek-robek: bagian yang besar bisa
untuk sarung bantal, bagian yang kecil untuk popok bayi.
Sakit bisa
dinikmati. Miskin pun bisa dinikmati. Apalagi suasananya sering diciptakan
demikian. Misalnya saja, kisah tentang bagaimana Khalifah Umar menemukan orang
miskin yang anaknya menagis terus karena lapar. Untuk meredam tangis si anak,
ibunya pura-pura merebus sesuatu. Padahal, yang direbus itu adalah batu. Cerita
yang demikian jadi kebanggaan. Juga cerita sufi tentang bagaimana orang sakti
yang kalau lapar cukup mengganjal perutnya dengan batu. Atau bagaimana nabi
hanya memakan kurma dua biji setelah seharian berpuasa. Lapar itu sering luar
biasa nikmatnya.
Orang miskin
punya jalan sendiri untuk menikmati kemiskinannya, seperti juga orang kaya
punya cara sendiri menikmati kekayaannya. Kadang, orang kaya merasa iba kepada
orang miskin. Padahal, sering juga orang miskin merasa kasihan kepada orang
kaya. Banyak orang desa yang merasa kasihan kepada Tommy Soeharto yang akhirnya
harus menderita. Mereka tidak tahu bahwa Tommy masih kaya raya.
Hidup, bagi
orang miskin, harus dijalani apa adanya. Jangankan terkena kanker atau sirosis
atau hepatitis. Mati pun dianggap, kalau memang sudah garisnya, harus diterima
apa adanya. Karena itu, ayat yang menyatakan "kalau sudah tiba waktunya,
tidak bisa diundur sekejap pun atau dimajukan sedikit pun" menjadi amat
populer. Melebihi popularitas ayat yang mengajarkan "carilah rezeki di
bumi Tuhan ini".
Kisah sedekah
yang populer juga terkait dengan kemiskinan. Sangat sering diajarkan bahwa
sedekah tidak harus dengan harta. Menyingkirkan duri dari tengah jalan pun
sudah merupakan sedekah. Bahkan, tersenyum pun sudah sedekah. Maka, marilah
kita sering tersenyum. Mau dioperasi besar pun saya tersenyum. Itulah sedekah
yang sudah sejak kecil diajarkan -dan yang dulu satu-satunya yang mampu kami
lakukan. (Bersambung)
September 9,
2007
Setelah Rutin
Disuntik, Menyangka Hepatitis Sudah Beres
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (15)
SAYA menerima
kehadiran virus hepatitis B di liver saya sebagai takdir. Kalau kemudian
berkembang menjadi sirosis dan kanker, itu sebagai sunnatullah-Nya -sudah
seharusnya begitu. Jangan harap satu virus hepatitis B tidak akan menjadi
sirosis. Dan, jangan ada harapan sirosis tidak akan jadi kanker. Tidak ada
keajaiban di proses itu. Tidak ada mukjizat. Tinggal waktu saja yang berbeda.
Proses perkembangan itu lama atau cepat.
Karena namanya
virus, pasti datangnya dari luar. Jadi, bukan keturunan atau gen, seperti yang
semula saya kira. Bahwa keluarga saya banyak yang demikian, tentu itu karena
gaya hidup di desa yang memang seperti itu. Makan bersama, berebut lauk dari
piring yang sama, cuci tangan dari kobokan yang sama. Semua bisa saja jadi sarana
penularan. Karena hidup seperti itu dilakukan sejak kecil, kemungkinan
penularannya juga tidak kecil.
Di Tiongkok,
data terbaru menyebutkan hampir 10 persen penduduknya terkena virus hepatitis.
Ini berarti lebih dari 120 juta orang. Di Indonesia, persentasenya saya kira
hampir sama. Karena itu, penelitian terhadap hepatitis intensif sekali di
Tiongkok, karena menyangkut begitu banyak orang.
Ke depan
mestinya virus ini amat berkurang karena kesadaran melakukan vaksinasi
hepatitis kepada bayi sangat tinggi. Di Tiongkok sejak 1982. Di Indonesia
terutama sejak zaman Orde Baru.
***
Saya sendiri
tahu kalau mengidap hepatitis B sejak sekitar 25 tahun lalu. Yakni, ketika
untuk kali pertama dalam hidup saya memeriksakan darah. Waktu itu tiba-tiba
badan saya panas sekali. Maka saya harus periksa darah. Diketahuilah bahwa ada
virus hepatitis B di liver saya. Sebelumnya, sejak kecil, kalau badan panas
yang dibiarkan saja: toh akan dingin sendiri.
Saat itu juga
saya langsung mengambil langkah. Konsultasi dengan salah satu dokter ahli
penyakit dalam terbaik di Surabaya: Prof Mohamad Hassan (kini almarhum). Dia
mendengar ada obat yang masih baru sama sekali. Namanya interveron. Kalau mau,
saya boleh mencoba obat baru itu, karena memang sebelumnya tidak pernah ditemukan
obat untuk melawan virus itu.
Tapi, Prof
Hassan mengingatkan bahwa harganya mahal sekali. Juga harus disiplin tinggi
karena obat itu harus disuntikkan 76 kali, setiap dua hari sekali. Kini
interveron sudah amat murah dibanding harga 25 tahun lalu. Tapi, Prof Hassan
juga memberitahukan bahwa kemungkinan berhasilnya juga tidak 100 persen, baru
25 persen. Ya, siapa tahu saya masuk yang 25 persen itu, katanya.
Saya pun
menyetujuinya. Maka setiap dua hari saya suntik interveron. Ketika pertama
suntik saya harus ngamar di rumah sakit. Saya pilih RS Budi Mulia di Jalan Raya
Gubeng. Mengapa harus ngamar? "Akibat suntikan itu, suhu badan bisa tinggi
sekali. Kalau terjadi sesuatu yang membahayakan, Anda sudah berada di rumah
sakit," katanya.
Obat itu
berfungsi bukan membunuh virusnya, melainkan hanya mengurungnya. Maksudnya,
dengan dikurung seperti itu, virus tidak akan merajalela. Sebab, memang belum
ada obat ang bisa membunuhnya.
Pada hari
dilakukan penyuntikan pertama, saya langsung siap-siap selimut tebal. Kalau
panas datang dan badan menggigil, saya sudah tidak bingung lagi. Saya tunggu
kedatangan "suhu tinggi" dan "rasa menggigil" itu sampai
sore. Tangan sudah selalu siap memegang selimut kalau tiba-tiba harus segera
menutupkan ke tubuh saya. Saya tunggu sampai malam, ternyata si demam tidak
datang juga. Bahkan sampai besoknya pun.
Lalu saya boleh
pulang. Saya bisa menyuntikkan interveron berikutnya di mana pun saya mau. Bisa
di kantor, di poliklinik, atau di praktik dokter. Saya menyimpan interveron itu
di termos khusus yang bisa saya bawa bepergian. Ke mana-mana saya membawa
termos itu berikut alat suntiknya.
Pernah suatu
saat saya harus ke Ambon. Tentu saya bawa juga interveron itu. Di Ambon
ternyata sulit sekali mencari dokter yang mau menyuntikkannya. Di sana umumnya
dokter tidak tahu obat apa yang saya bawa itu. Sudah saya jelaskan panjang
lebar, tetap saja dia tidak mau. Memang seharusnya demikian. Kalau tidak tahu,
tidak boleh melakukannya. Yang jadi persoalan adalah bukan tidak mau, tapi
memang betul-betul belum tahu obat tersebut. Maklum, memang obat yang masih
sangat baru.
Pernah juga saya
mengalami kesulitan yang sama saat berada di Batam. Padahal, saya juga harus
mengejar pesawat. Akhirnya saya minta disuntik di pos kesehatan bandara Batam.
Setelah proses
itu selesai, saya menjadi lengah. Saya menyangka, hepatitis saya sudah beres.
Saya tidak pernah lagi memperhatikannya. Saya tenggelam oleh kesibukan dan
kecerobohan saya sendiri.
Kini, saya
dengar kualitas interveron sudah semakin baik. Sudah puluhan kali lebih kuat
daripada 25 tahun lalu -saat saya pertama menggunakannya. Barangnya juga sudah
lebih mudah didapat. Tiongkok juga sudah memproduksinya besar-besaran. Harganya
pun sudah jauh lebih murah dibanding ketika saya harus membeli dulu. Murah
untuk ukuran orang sakit liver, tapi tetap mahal untuk kebanyakan orang.
Sejak minum
interveron itu saya tidak pernah mencari tahu lagi apakah sudah ada obat yang
lebih jitu. Bahkan, saya sudah melupakan hepatitis saya. Badan saya yang selalu
fit, membuat saya terlalu percaya diri. Pujian bahwa saya adalah orang yang
"tidak punya udel" (tidak punya pusar, untuk menggambarkan punya
kemampuan kerja kuda) membuat saya terlena. Saya terus kerja dan kerja. Terbang
dan terbang. Di dalam negeri dan ke luar negeri.
Sampailah pada
Mei 2005. Hari itu saya terbang ke 19 kota hanya dalam waktu 8 hari. Mulai
Surabaya-Jakarta-Pontianak-Kuching-Singapura-Guangzhou-Wenzhou-Jinhua-Hangzhou-Nanchang-Guangzhou-Jakarta-Makassar-Ambon-Makassar-Kendari-Makssar-Jakarta-Surabaya.
Istri saya,
bersama Ibu Eric Samola, bergabung dengan saya di Makkasar untuk sama-sama ke
Ambon. Tiba di Ambon tidak mau sarapan, langsung ke kantor harian Ambon
Ekspress untuk rapat. Mengapa tidak mau sarapan? Setiap ke Ambon saya punya
cita-cita khusus: akan makan durian sebanyak-banyaknya. Durian Ambon luar biasa
enaknya. Apalagi kalau dimakan di pantai yang sangat natural itu: pantai Ambon
yang indah. Di mana itu? Kalau Anda turun dari pesawat, keluar dari bandara,
jangan belok kanan ke arah kota, tapi belok kiri ke arah kampung. Aduh
naturalnya!
Tapi, rapat
masih diteruskan dengan mengajar. Dulu, setiap kedatangan saya ke anak
perusahaan selalu dimanfaatkan untuk pertemuan dengan wartawan. Saya memang
punya forum yang disebut "bengkel wartawan". Di forum
"bengkel" itulah saya selalu diminta menularkan pengetahuan dan
keterampilan jurnalistik. Berarti makan siang juga kelewatan.
Selesai forum
bengkel, sudah tidak tahan lagi untuk segera makan durian. Makannya tidak di
pantai Ambon tidak apa-apa. Kebetulan di depan kantor, di pinggir jalan depan
Masjid Al Fatah, banyak penjual durian. Kenyanglah. Lupa sudah makan siang.
Malamnya, setelah makan malam dengan menu makanan lokal yang disebut papeda,
saya ke kantor lagi sambil seperti menangis. Papeda malam itu merupakan makanan
terpedas yang pernah saya alami setelah makanan yang disebut suai yang ru di
Chongqing, Tiongkok.
Mestinya, saya
jangan makan papeda malam itu. Mestinya tetap saja makan ikan laut. Ikan laut
Ambon segarnya, manisnya, enaknya, bukan kepalang. Saya selalu merindukannya.
Tapi, sejak kerusuhan Ambon, saya tidak tahu lagi di mana restoran yang
terkenal itu membuka usaha.
Perut saya mulai
bergolak malam itu. Mungkin ikan-ikan Ambon cemburu dan marah mengapa malam itu
saya melupakannya. Lalu menyantet perut saya. Meski perut mulas, tengah malam
itu saya masih harus ke percetakan. Paginya, pukul empat sudah harus berangkat
ke Makassar. Rapat dengan harian Fajar yang kini baru menyelesaikan membangun
gedung Graha Pena Makassar. Rapat pun buru-buru karena harus segera ke Kendari,
rapat dengan harian Kendari Post yang waktu itu juga lagi membangun Graha Pena
Kendari. Di Kendari saya juga punya cita-cita khusus: makan ikan bakar. Hari
itu bumbunya juga pedas bukan kepalang.
Tiba di
Surabaya, barulah saya bisa tidur dengan baik. Bangun tidur, tiba-tiba saya mau
muntah. Saya muntahkan saja, tapi kedua tangan saya menjadi penadah. Sambil
tangan menampung muntahan, saya lari ke toilet untuk membuang muntahan yang ada
di tangan. Tentu ada yang tercecer di lantai kamar. Dari yang tercecer itulah
saya lihat banyak onggokan berwarna hitam. Setelah onggokan itu saya injak,
ternyata warnanya merah: darah. Oh, ternyata saya muntah darah.
Tapi, badan saya
rasanya baik-baik saja. Saya memang merencanakan ke dokter, tapi besoklah.
Setelah saya menghadiri coblosan pemilihan wali kota Surabaya. Anak buah saya,
Pimred Jawa Pos Arif Afandi, menjadi calon wakil wali kota mendampingi calon
Wali Kota Bambang D.H. Saya harus memilihnya sebagai dukungan ke anak buah.
Barulah selesai
coblosan saya ke Rumah Sakit Darmo Surabaya. Perkembangan hasil pilkada itu, di
mana Bambang-Arief terpilih, saya ketahui saat saya berbaring di ranjang
pasien.
Saya ternyata
memang harus ngamar di rumah sakit. Dokter menyesalkan saya, mengapa begitu
muntah darah tidak langsung ke rumah sakit. Dokter bilang saya beruntung. Bisa
jadi muntah darah itu akan sangat fatal dan mematikan. Lalu saya ingat kakak
saya yang meninggal tidak lama setelah muntah darah. Juga ibu saya. Paman-paman
saya.
Pemeriksaan di
Rumah Sakit Darmo menunjukkan betapa berbahayanya sakit saya. Bahaya yang sama
sekali tidak saya rasakan sebelumnya. Bahaya yang selalu kalah dengan semangat.
Dalam istilah teman saya, penyakit tidak mau mampir ke badan saya karena tidak
akan dilayani akibat kesibukannya.
Ternyata semua
itu menipu. Penyakit tetap datang dan diam-diam menggerogoti onderdil saya.
Sebuah kerusakan di dalam, yang tidak segera diketahui di luarnya. Tahu-tahu
saja sudah terlambat sekali. (bersambung)
September 10,
2007
Esofagus
Ditambal atau Bilang Saja Pencernaan Dilaminating
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (16)
KETIKA kartu
suara pemilihan wali kota Surabaya dihitung, dokter RS Darmo Surabaya juga
mulai melihat dari mana asal darah yang saya muntahkan. Saya dibius.
Tenggorokan saya dimasuki alat yang ujungnya berkamera superkecil. Tindakan ini
dalam istilah kedokteran disebut dengan endoskopi. Yang mengendoskopi saya
ketika di RS Darmo Surabaya saat itu adalah dr Pangestu Adi SpPD-KGEH, yang sudah
sangat ahli dan senior di bidang itu.
Dari
tenggorokan, alat itu masuk sampai ke lambung saya, melalui pipa esofagus (yang
menghubungkan mulut dengan lambung).
Dari gambar yang
dipantulkan alat itu terlihat, betapa banyak gelembung darah yang siap pecah di
sepanjang esofagus saya. Ada yang kecil, banyak juga yang besar.
Gelembung-gelembung itu sebenarnya adalah pembuluh darah esofagus yang karena
tekanannya terlalu besar lantas menggelembung. Dalam istilah medis, pembuluh
darah esofagus yang menggelembung dinamakan varises esofagus. Disebut varises
karena memang mirip varises di betis.
Hanya, karena
dinding pembuluh darah esofagus lebih tipis, varises di bagian itu lebih
gampang meletus, pecah. Jika itu terjadi, pasien akan mengalami pendarahan
hebat yang sulit dikendalikan. Akibatnya bisa sangat fatal. Yakni, pasien
meninggal karena kehabisan darah.
Varises esofagus
terjadi karena pembuluh darah utama yang masuk ke liver menyempit akibat adanya
sirosis. Karena pintu masuknya menyempit, tekanan di pembuluh darah utama itu
pun jadi meningkat. Karena tak segera diturunkan, tekanan itu pun merembet
sampai ke pembuluh darah esofagus dan limpa. Itu sebabnya mengapa limpa saya
juga ikut membesar sampai hampir tiga kali lipat.
Kata banyak
dokter di Surabaya ketika itu, saya termasuk orang yang beruntung. Karena tidak
kolaps ketika beberapa gelembung varises di esofagus saya pecah dan menyebabkan
saya muntah darah dua hari sebelum endoskopi dilakukan.
"Sebaiknya
Pak Dahlan segera ke Singapura. Dalam kesempatan pertama," ujar Prof Dr dr
Boediwarsono SpPD-KHOM yang merawat saya ketika itu. "Lebih baik dilakukan
di sana," tambahnya.
Sampai saat itu,
saya masih belum memahami sepenuhnya bahaya yang saya hadapi. Maklum, rasa
badan saya baik-baik saja. Baru dua minggu kemudian, ketika ada acara di
Singapura, saya mampir ke seorang ahli penyakit dalam yang terkenal di RS Mount
Elizabeth. Saya diperiksa di situ untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya
dan tindakan apa yang harus dilakukan. Seminggu kemudian saya diminta datang
lagi untuk operasinya. Hari itu dia sudah telanjur banyak janji dengan pasien
lain. Padahal, operasinya perlu waktu dua jam sendiri.
Agar kedatangan
saya ke Singapura minggu depannya lebih efektif, saya bikin janji dengan
investor Singapura yang bersama perusahaan daerah Jatim akan membangun shore
base di Lamongan. Sebelum operasi, saya punya waktu membicarakan kelanjutan
rencana proyek Rp 250 miliar itu. Dengan cara ini perusahaan daerah tidak perlu
keluar uang perjalanan dinas dan biaya-biaya lain. Saya memang biasa begitu.
Urusan perusahaan daerah selalu saya gabung dengan urusan saya pribadi.
Sehingga selama lima tahun sebagai Dirut perusahaan daerah, saya tidak pernah
menggunakan uang perusahaan.
Minggu depannya,
selesai rapat, saya ke rumah sakit. Langsung dibius dan dioperasi. Sekali lagi,
tenggorokan saya dimasuki alat yang bisa masuk sampai pencernaan. Seperti pada
endoskopi, ujung alat itu pun dilengkapi kamera.
Dengan bantuan
kamera itu, tim dokter di Mount Elizabeth lantas mereparasi esofagus saya.
Antara lain dengan menuangkan semacam lem berwarna putih ke gelembung-gelembung
varises di esofagus saya. Tujuannya untuk menambal bagian yang sudah meletus,
sekaligus melapisi yang sudah siap meletus. Dengan begitu, ketika meletus, darahnya
tidak semburat ke luar lagi.
Teknis
penambalan esofagus sebenarnya tidak sesederhana penjelasan saya itu. Saya
hanya menyederhanakannya. Bahkan, kepada keluarga saya, saya menggunakan
istilah yang lebih sederhana lagi: Saluran pencernaan saya "dilaminating".
Karena jumlah
gelembung yang harus ditambal begitu banyak, proses "laminating"-nya
tak bisa hanya sekali. Dan, hari itu dokter hanya punya waktu untuk mengatasi
gelembung yang besar-besar, yang sudah meletus dan benar-benar siap meletus.
Selain itu, kalau yang "dilaminating" kebanyakan, beban bagi tubuh
saya akan terlalu berat.
Dengan hanya
"melaminating" yang besar-besar, dokter berharap gelembung yang
kecil-kecil akan mengecil dengan sendirinya. Untuk memastikan itu, saya diminta
kembali dua bulan kemudian.
Sesuai jadwal,
dua bulan kemudian saya balik ke Singapura. Rapat lagi sambil meneruskan proses
"laminating" berikutnya. Meski yang kecil-kecil tidak membesar,
dokter memilih yang aman. Gelembung-gelembung kecil yang tersisa
"dilaminating" semua. Hari itu, persoalan mendesak yang mengancam
hidup saya teratasi. Tepatnya, teratasi sementara.
Kenapa
sementara? Ini karena penyebab terjadinya gelembung-gelembung itu sendiri masih
njegog di badan saya: sirosis. Kelak saluran pencernaan saya akan tertekan
lagi, bengkak lagi, dan menjadi gelembung-gelembung darah lagi. Berarti setahun
kemudian saya masih terancam muntah darah lagi. Tapi, dengan
"laminating" ini, setidaknya saya bisa mengulur waktu.
Bulan
berikutnya, ketika direksi perusahaan daerah sudah selesai merundingkan draf
perjanjian dengan pihak Singapura, saya putuskan untuk menandatangi perjanjian
setebal bantal itu. Saya juga sudah minta tolong agar teman saya, Robert Lai,
lawyer lulusan Inggris yang sudah biasa bikin perjanjian dalam bahasa Inggris,
untuk melihat, mencermati, dan memberikan koreksi mana-mana yang akan membuat
posisi perusahaan daerah lemah. Dia memberikan banyak sekali koreksi. Lalu
menyerahkan koreksi itu ke direksi perusahaan daerah untuk dipikirkan lebih
lanjut. Dia melakukannya secara gratis. Sudah beberapa kali Robert membantu
perusahaan daerah secara sukarela seperti itu.
Menjelang tanda
tangan perjanjian itulah saya berkonsultasi dengan dokter mengenai problem
kesehatan saya yang berikutnya.
Misalnya,
bagaimana mengatasi sirosis saya. Bagaimana agar tidak terancam muntah darah
lagi. Bagaimana agar kaki saya tidak bengkak lagi.
Lalu saya
tunjukkan kaki saya yang mengembung dan membesar itu kepada dokter yang merawat
saya. "Bagaimana mengatasinya?" tanya saya.
Jawaban dokter
itu sungguh di luar dugaan saya. "Beli saja sepatu yang lebih besar,"
katanya ketus.
"Kalau
sesak lagi?" tanya saya lagi.
"Ya, beli
lagi yang lebih besar lagi!" jawabnya, enteng.
Jawaban itu
memang seperti keluar dari mulut Asmuni-Srimulat. Tapi, saya merenungkannya.
Getir jawaban itu, tapi saya kunyah lama-lama. Semakin dikunyah, memang semakin
pahit rasanya. Seperti pahitnya butrawali, buah yang dijadikan ukuran terpahit
di Jawa. Lalu saya telan sedikit-sedikit lewat tenggorokan saya yang sakit:
beli sepatu yang lebih besar. Dan beli lagi yang lebih besar lagi.
Begitu pahitnya
kalimat dokter itu, membuat pencernaan seperti mulas dan mau muntah. Lalu saya
muntahkan sekalian kalimat dokter itu: Dalam wujud muntah seperti darah. Merah
rupanya, merah rasanya. Di atas muntahan itu seperti terbaca peringatan keras:
tidak ada obatnya, Dahlan, tidak ada obatnya!
***
Saya masih minta
butrawali satu lagi: Bagaimana dengan sirosis saya? Maksud saya apakah sudah
ada obat untuk memperbaiki sirosis? Atau, dalam bahasa orang awam, apakah ada
jalan keluar untuk membuat liver yang sudah mengeras di sana-sini itu kembali
lunak? Dan jalan darah yang sudah banyak yang buntu itu membuka lagi?
Dokter rupanya
tidak punya banyak waktu. Juga tidak mau bertele-tele. Dia seperti menganggap
manusia ini benda yang tidak punya perasaan. Dokter melemparkan jawaban pendek,
langsung, tajam. Terasa seperti lemparan pisau yang langsung mengarah ke liver
saya. Menghunjam dalam sekali. Lalu menyayat-nyayatnya. Berdarah-darah. Pedih.
"Anda lakukan transplantasi saja. Mungkin hidup Anda bisa lebih panjang
lima tahun lagi," katanya. "Sekarang Anda berumur 55 tahun. Tambah
lima tahun menjadi 60. Cukuplah," katanya.
OK. Lima tahun
lagi, Dahlan, kau bisa dapat tambahan umur lima tahun lagi. Tidak boleh lebih.
Bisa sampai umur 60 cukuplah. OK.
Tapi,
"Kenapa setelah transplantasi hanya bisa hidup lima tahun?" tanya
dokter itu pada saya. Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu. Saya sudah oke.
Tambah lima tahun sudah oke. Saya tidak mau dia memberi saya sekarung
butrawali. Tapi, dia jawab sendiri pertanyaan itu: karena liver barunya nanti
kemungkinan juga terkena hepatitis lagi, dan akan jadi sirosis lagi. Apalagi
kalau saat itu sudah ada kankernya, bisa jadi bibit kanker itu juga masuk lagi
ke liver baru.
Berarti juga
tidak ada jalan keluar untuk sirosis. Padahal, sirosis itu yang menyebabkan
saluran pencernaan bengkak dan membuat gelembung-gelembung darah. Berarti juga,
dua-duanya tidak ada jalan keluar. Tidak ada obatnya. Tidak ada alternatifnya.
Tidak ada pula keajaiban yang bisa diharapkan.
***
Dokter itu tidak
kenal saya. Dia hanya tahu saya orang Surabaya. Dia tahu itu karena hampir
semua pasiennya mengatakan kenal saya. Dia lantas mengira saya kerja di
perusahaan periklanan. Satu perkiraan yang tidak terlalu salah. Ruang
praktiknya memang penuh dengan pasien dan sebagian besar orang Indonesia.
Mungkin karena itu, di dinding pendek dekat meja resepsionis terdapat banyak
guntingan koran Indonesia yang memuat tentang ceramah dan wawancara dengan
dokter itu. Salah satunya adalah koran dari Grup Jawa Pos.
Saya sama sekali
tidak menyangka akan berhubungan dengan kata transplantasi. Saya masih
menganggap kata-kata transplan dari dokter tersebut tidak terlalu meyakinkan.
Saya tidak terlalu memikirkannya. Apalagi, ancaman kematian tiba-tiba sementara
sudah teratasi.
Karena badan
normal-normal saja, saya juga hidup normal lagi. Artinya sibuk lagi,
terbang-terbang lagi. Hanya saya lebih care dibanding dulu. Saya terus
memonitor darah saya di laboratorium. Dua minggu sekali, setiap akan membuka
hasil lab, perasaan saya seperti anak sekolah yang sedang menerima rapor.
Kadang saya membuka hasil lab itu seperti membuka kartu remi yang tertutup di
atas meja. Pelan-pelan, sedikit-sedikit, takut angka-angka merahnya terlihat
sekaligus. (Bersambung)
September 11,
2007
Dokter
Mengetuk Dada, Timbul Bunyi seperti Tong Kosong
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (17)
SAYA pernah
membenci kaus kaki. Setiap pulang dari bepergian, selalu saja kaki saya seperti
balon panjang yang ditiup tidak sempurna. Besar atas bawahnya, dekok di
tengahnya. Ini terjadi karena karet di kaus kaki tersebut menekan kaki saya.
Karena yang dijepit adalah daging kaki yang bengkak, maka tidak gampang
baliknya.
Pernah saya
merasa penat. Yakni, saat habis makan malam dengan Wakil Presiden H M. Jusuf
Kalla dan lima menteri yang menyertainya. Waktu itu kami makan di satu restoran
kecil, namun istimewa. Saya tahu alamat restoran itu dari Rajimin, bos Hotel
J.W. Marriott Surabaya yang juga konsul kehormatan Hongaria. Restoran itu ada
di pojok Jalan Tianjin, Shanghai. Semua masakannya terbuat dari kepiting. Mulai
supnya, makanan kecilnya, sampai makanan penutupnya. Enaknya luar biasa.
Pulang makan,
saya mampir ke kios pijat kaki. Setelah melepas kaus kaki saya, si ahli
refleksi kaget. "Karet kaus kakimu terlalu kuat. Lihat. Sampai membuat
kakimu seperti ini," katanya sambil melihat bagian kaki yang ’ambles’. Dia
pun, seperti saya, ternyata juga menyalahkan kaus kaki.
Padahal, yang
salah adalah kakinya. Tepatnya, yang salah sebenarnya liver saya yang tidak
lagi mampu mengolah protein secara normal. Bahkan, kalau mau yang paling tepat
lagi disalahkan adalah saya sendiri: Mengapa tidak menjaga baik-baik liver
saya? Dua tahun lamanya saya membenci kaus kaki. Tapi juga tetap memerlukannya.
Sebab, kalau tidak pakai kaus kaki, perut saya langsung kembung.
Begitulah.
Hubungan saya dengan kaus kaki menjadi sangat unik: Jenis hubungan yang disebut
love and hate -cinta dan benci. Dalam situasi terus membenci kaus kaki seperti
itulah, saya terus beraktivitas. Terbang berjam-jam. Berkendaraan beratus-ratus
kilometer. Di dalam negeri. Di luar negeri.
Sampai suatu
saat saya punya urusan di kota Tianjin, 100 km dari Beijing. Di sini kebetulan
ada kenalan dokter ahli liver yang hebat. Namanya Prof dr Shao. Seorang wanita
tepat seumur saya, yang mengepalai bagian liver di suatu rumah sakit di sana.
Dia dobel dokter. Dokter ilmu kedokteran Barat dan dokter ilmu kedokteran
Tiongkok. Dia juga doktor di spesialisasi liver, limpa, dan empedu. Saya
kepingin mencari pendapat pembanding. Benarkah tidak ada jalan keluar untuk
problem bengkak saya itu. Benarkah sirosis itu tidak bisa disembuhkan, minimal
dihentikan proses memburuknya.
Tentu, saya
diminta Prof Shao untuk menjalani pemeriksaan ulang. Mulai kencing, kotoran,
darah, liver, limpa, paru, sampai prostat. Juga menjalani pemeriksaan fisik
yang dia lakukan sendiri. Yakni pemeriksaan secara kedokteran Tiongkok. Dia
ketuk-ketuk rongga dada saya dengan jarinya. Timbullah suara seperti tong
kosong. "Ini pertanda liver Anda memang sudah mengerut, mengecil,"
katanya. "Di rongga dada Anda sudah mulai ada ruang kosongnya,"
tambahnya.
Setiap Prof Shao
memeriksa fisik saya, selalu banyak dokter muda yang diajaknya. Dokter-dokter
muda itu menyimak dengan tekun apa saja dijelaskan Prof Shao sehubungan dengan
kondisi badan saya. Dia memang juga pengajar di fakultas kedokteran yang
terkait dengan rumah sakit itu.
"Lihat
ini," kata Prof Shao kepada para dokter muda itu. Sambil berkata demikian,
Prof Shao menyingkap baju saya sampai dada saya terbuka. Lalu, dia
memegang-megang payudara saya (eh, kalau milik laki-laki apa juga disebut
payudara?). "Lihat payudara dia ini. Juga membesar. Seperti payudaranya
gadis yang menginjak remaja. Orang yang terkena sirosis akan selalu seperti
ini," ujarnya.
Kenapa Prof Shao
mengumpamakan payudara saya seperti payudara gadis belia, karena proses
pembesaran kelenjar susu lelaki yang menderita sirosis memang mirip pertumbuhan
payudara gadis yang beranjak remaja. Yakni dimulai dengan rasa nyeri pada
bagian putingnya saat tersentuh sesuatu. Perlahan-lahan rasa nyeri itu
berkurang, bersamaan dengan makin besarnya payudara. Seperti umumnya gadis
remaja, pembesaran payudara saya juga dimulai dari yang kiri, baru kemudian
yang kanan.
Jika liver saya
tidak keburu ditransplan, payudara saya akan terus membesar menyerupai payudara
wanita. Dalam istilah medis, pembesaran payudara yang saya alami itu disebut
dengan gynecomasty atau ginekomastia.
Lama sekali dia
memegang-megang payudara saya. Tapi, bayangan saya lebih kepada sirosis yang
mengancam nyawa saya. Tidak hanya hari itu. Berkali-kali Shao menjadikan
payudara saya sebagai alat peraga untuk mahasiswanya. Saya menerima saja. Bukan
karena merasakan remasannya, melainkan itu memang penting agar orang lain
jangan sampai seperti saya.
Setelah selesai
bagian dada, tangannya turun ke perut. Dia periksa perut saya dengan dua
tangannya. Dia pejamkan matanya seolah ingin merasakan benar apa yang berubah
dari perut saya senti ke senti. Dia goyang-goyang perut saya. "Masih
beruntung. Air belum masuk ke rongga perut," katanya.
Prof Shao memang
sangat khawatir air yang sudah memenuhi seluruh badan saya juga sudah mulai
mengalir ke rongga perut. Sebab, memang begitulah proses yang akan terjadi
berikutnya. Air akan "bocor" dan menggenangi rongga perut. Karena
itu, penderita sakit liver seperti saya akan berakhir juga dengan keadaan perut
membesar penuh air. Mula-mula perut akan seperti balon berisi air: Ginjur-ginjur.
Dalam istilah medis, keadaan itu disebut dengan ascites.
Semakin lama,
jumlah air di perut akan semakin banyak dan memaksa perut untuk membesar.
Bersamaan dengan membesarnya perut, biasanya pembuluh-pembuluh darah di
permukaan perut juga ikut melebar sehingga tampak seperti sarang laba-laba,
tapi warnanya merah. Sesuai dengan tampilannya, para dokter menyebut pelebaran
pembuluh darah itu dengan istilah spider veins.
Pada tahap
berikutnya, perut yang besar itu mengeras. Saya sudah berkali-kali melihat
perut orang sakit liver seperti ini dan biasanya sudah akan meninggal kurang
dari enam bulan. Begitu juga ibu saya dulu. Satu pemandangan yang saya lihat
ketika saya masih berumur 12 tahun dan terus hidup sampai saya sendiri dalam
posisi akan mengalaminya.
Saya sendiri
beruntung karena sampai saat transplantasi, saya tidak mengalami yang disebut
ascites maupun spider veins itu.
"Ini harus
dicegah sedini mungkin, sebisa-bisanya," kata Shao kepada para dokter muda
tersebut. Tapi, itu pun sifatnya hanya usaha untuk buying time.
Dokter di
Singapura berpendapat sama. Dia memberikan dua jalan: Meminum obat agar kencing
lancar dan meminta saya untuk tidak banyak minum. Dua-duanya saya jalani.
Sampai-sampai saya pernah merasa takut pada air minum. Setiap mau minum, selalu
terbayang bahwa sebagian air itu akan terus membuat badan saya bengkak.
Sebagian lain akan membuat perut saya membesar, ginjur-ginjur, dan akhirnya
mengeras.
Pada awalnya,
saya agak terhibur dengan "pil pelancar kencing". Tapi, lama-lama satu
pil tidak cukup membuat kencing saya mengalir lancar. Harus dua pil. Ini pun
lama-lama juga sudah kurang manjur. Terpaksa, saya terus mengurangi minum.
Beberapa bulan terakhir saya hanya berani minum satu liter saja sehari. Ini
karena kencing saya hanya sekitar 700 sampai 900 mililiter sehari semalam.
Di Tianjin, Prof
Shao memberi saya obat Tiongkok yang sudah berwujud cairan infus. Tiap hari
saya diinfus dengan itu dan bengkak berkurang. Kencing lancar sekali. Tapi,
kalau infus dihentikan, tetap saja badan kembali bengkak. Shao menjelaskan
mengapa demikian kepada para dokter muda -beberapa di antara mereka dokter muda
dalam ilmu kedokteran Tiongkok.
Ketika saya
banyak tanya mengenai khasiat dan bahaya setiap obat yang diberikan kepada
saya, Shao bergegas menatap wajah-wajah dokter muda. "Lihat sahabat saya
ini. Banyak bertanya. Kelak, semua pasien akan seperti ini. Kalian harus bisa
menjelaskannya dengan sebaik-baiknya. Pasien memang punya hak untuk tahu,"
ujar Shao sambil tangannya tetap di perut saya. Kadang tangannya mampir lagi ke
payudara saya. Ini karena di antara dokter muda hari itu, ada wajah baru yang
belum diberi tahu bagaimana payudara saya juga membesar seperti gadis menginjak
remaja.
Lain hari, saya
ingin Prof Shao ganti mengajar saya. Sebelum hari yang ditentukan itu tiba,
saya beli kertas putih lebar. Lalu, saya tempelkan di dinding kamar rumah
sakit. Saya ingin dia menjelaskan secara gamblang rangkaian penyakit saya. Saya
juga beli spidol warna-warni untuk membedakan gambar aliran darah masuk dan
keluar. Dia tersenyum melihat persiapan saya hari itu. "Wah, saya harus
mengajar berapa jam?" tanyanya bergurau. Pipinya yang padat, hidungnya
yang agak mancung, badannya yang tinggi, dan rambutnya yang ikal membuat
penampilannya sangat aristokrat. Apalagi kalau berat badannya bisa turun satu
kilo lagi. "Satu jam 10.000 yuan ya?" guraunya ketika menyebut uang
setara Rp 11 jutaan tersebut.
Di dinding itu
dia menggambar isi tubuh saya. Menjelaskannya sangat detail dan
terang-benderang. Dia pandai sekali mengajar. Pasti banyak mahasiswanya yang
senang. Saya juga belajar yang lain lagi: bahasa. Sebab, bahasa Mandarin yang
dia gunakan sangat teknis dengan logat yang sangat Tianjin. Kini tahulah saya
secara gamblang penyakit saya, terutama ancaman mati yang nyata di depan mata
saya. "Ini tidak ada obatnya," katanya tegas. Muncul karakternya
sebagai pemimpin. "Kecuali istirahat total," tambahnya. "Obat
hanya memegang peranan kurang dari 15 persen. Yang 85 persen lebih adalah perilaku
pasien sendiri," ujarnya.
Prof Shao
melarang saya banyak jalan, gerak, dan terlalu lelah. Tidak boleh marah,
kemrungsung, dan berada dalam situasi tergesa-gesa. Padahal, salah satu hobi
saya "mengejar" pesawat. Saya sering tidak sabar menunggu jadwal
pesawat. Kalau pesawat yang akan terbang ke suatu tujuan masih tiga-empat jam
lagi, biasanya saya cari pesawat ke jurusan yang lain dulu.
Saya juga tidak
boleh merasa kesal. Tidak memikirkan banyak persoalan sekaligus. Tidak boleh
mikir yang berat-berat. Saya harus pensiun. Saya hanya boleh memikirkan badan
saya sendiri. Tidak boleh lagi mikir orang lain.
"Ibaratnya,"
kata Prof Shao, "Rumah tetangga terbakar pun, Anda jangan peduli."
Tegas sekali peringatannya. Terang sekali contohnya. Hanya mahasiswa yang bodoh
yang tidak bisa memahaminya. Dan saya ternyata termasuk
"mahasiswa"-nya yang amat bodoh. (Bersambung)
September 12,
2007
Dokter
Menegur Iba, Ingat Nasib Ayahnya yang Redaktur
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (18)
BUKAN. Bukan
bodoh. Semua penjelasan Prof Shao mengenai bahayanya penyakit saya, saya
mengerti sepenuhnya. Terang-benderang penjelasannya. Saya pasti tidak bodoh.
Hanya saya sadari, saya agak ndablek. Dan dia tahu perilaku saya itu. Dia tahu
keras kepala saya, sembrono saya.
Suatu saat,
ketika saya kembali menemuinya setelah setengah bulan menghilang, dia lama
memandang saya. "Ke mana saja Anda? Kami di sini prihatin sekali. Takut
terjadi sesuatu pada Anda," katanya dengan nada khawatir. Mungkin juga
jengkel.
"Saya baru
datang dari Indonesia," jawab saya. Dia setengah tidak percaya, setengah
gondok. "Lho, setelah dari sini dulu itu, Anda pulang ke Indonesia?
Kenapa? Apa kata saya tentang kebakaran rumah tetangga?" ujarnya. Dia
lantas menarik napas panjang sekali.
"Dahlan,
Anda ini sudah gawat. Saya tidak mau kehilangan Anda," katanya. Berkata
begitu, dia seperti setengah menegur setengah mengiba. Dia kembali menarik
napas panjang sekali. Matanya kelihatan berlinang. Dia keluarkan tisu di
sakunya. Dia usap air matanya.
Beberapa hari
kemudian, dia bercerita kepada saya mengapa sampai hampir menangis ketika
menasihati saya. Ternyata, dia ingat bapaknya. Bapaknya seorang redaktur surat
kabar. Ibunya seorang hakim terkemuka. Bapaknya terus menulis buku sepanjang
malam. Lalu meninggal. Ternyata karena sakit liver. Dia tidak tahu itu dan
tidak memperhatikan itu. Padahal, dia dokter ahli liver. Waktu itu, katanya,
dia juga sedang belajar ekstrakeras selain kerja keras. Sebab, dia akan segera
dapat beasiswa untuk sekolah lagi di luar negeri. Tapi, semuanya gagal.
Beasiswa tidak jadi. Ayahnya pun pergi. Dia menangis lagi saat menceritakan
itu.
Dia lantas ingin
merawat saya semaksimal mungkin agar tidak seperti bapaknya. Saya sendiri juga
kepingin agar tidak seperti ibu saya. Dia akan sangat kecewa kalau saya sendiri
tidak peduli dengan badan saya. Apalagi dari hasil pemeriksaan total, dia lihat
masih ada sedikit peluang. Hasil "laminating" yang dilakukan di
Singapura terhadap saluran pencernakan saya yang sudah penuh varises sangat
baik. Cukup untuk mengulur waktu beberapa bulan. "Laminating" itu
kurang lebih bisa bertahan setahun. Kalau toh ada tanda-tanda bengkak lagi,
masih bisa "dilaminating" sekali lagi.
Prof Shao lebih
prihatin pada kadar platelet atau trombosit saya yang tinggal 60. Angka minimal
untuk kadar trombosit seharusnya 150 (ini angka dalam standar laboratorium di
Tiongkok). Di negara lain, termasuk Indonesia, digunakan standar minimal
150.000. Normalnya 150.000 sampai 400.000 per milimeter kubik darah.
Melihat
rendahnya kadar platelet saya, Prof Shao lantas berpikir keras mencari jalan
untuk menaikkan kadar platelet saya. Tapi, caranya tidak lewat injeksi karena
hal itu hanya bisa bertahan dua-tiga hari. Setelah itu, platelet akan turun
lagi.
"Mungkin
saya akan mengecilkan limpa Anda," katanya. Limpa saya harus dipotong?
"Boleh dibilang begitu. Namanya diembolisasi," ujarnya.
Dipotong
seberapa banyak? "Sekarang, limpa Anda sudah membesar tiga kali ukuran
normal. Mungkin dikurangi sepertiganya dulu," katanya.
"Limpa
dipotong?" kata saya dalam hati. Saya minta waktu berpikir untuk
memutuskannya.
Mengapa limpa
harus dikecilkan?
Limpa adalah
organ kecil -yang dalam keadaan normal hanya seukuran genggaman kita- di bawah
iga kiri. Tugasnya melawan infeksi, memproduksi sel darah merah dan darah putih
tipe tertentu, serta menyingkirkan sampah-sampah di pembuluh darah. Yang
disebut sampah di pembuluh darah, antara lain, adalah sel-sel darah yang rusak.
Seperti yang
pernah saya sebutkan di tulisan terdahulu, aliran darah ke liver saya (baca:
penderita sirosis) tidak bisa lancar. Akibatnya, darah mengalir balik ke limpa.
Untuk menampung limpahan itu, limpa lantas "membesarkan diri". Makin
banyak darah yang harus ditampung, semakin besar pula ukuran limpa.
Karena jumlahnya
di luar batas normal, limpa pun memperlakukan sel-sel darah yang numpuk itu
sebagai sampah yang harus disingkirkan. Itu berarti sel-sel darah yang
"sehat" pun ikut disingkirkan.
Bagi limpa,
luberan sel darah yang berlimpah itu memang menyulitkan. Sebab, jika tidak
dihancurkan, sel-sel sehat dan rusak itu akan mengerak dan mengganggu
fungsinya. Tapi, jika dihancurkan semua, darah akan kekurangan sel darah merah,
darah putih, dan platelet yang "sehat". Padahal, orang yang
kekurangan sel darah merah akan mengalami anemia (kekurangan darah). Kalau
kekurangan darah putih, orang akan gampang terkena infeksi dan yang kekurangan
platelet akan mudah mengalami pendarahan. Tiga-tiganya bisa mengakibatkan
kematian.
Oh, ya saya lupa
menjelaskan bahwa sebenarnya, bukan hanya kadar platelet saya yang turun. Tapi
juga sel darah putih dan sel darah merah saya. Untuk menormalkan kadar sel-sel
darah saya itulah, Prof Shao memutuskan perlunya mengecilkan limpa saya.
Ini memang bukan
langkah permanen. Sebab, selama liver saya sirosis, darah yang tidak bisa masuk
liver akan meluber dan menekan ke mana-mana, termasuk ke limpa. Artinya,
setelah dipotong pun, kelak limpa membesar lagi? Ya. Dan itu akan membuat
pletelet juga turun lagi. Kalau tahap itu sudah terjadi, limpa saya masih bisa
dipotong lagi, sekali lagi.
Limpa memiliki
tiga saluran darah masuk utama. Kalau salah satu saluran itu dimatikan, limpa
akan mati sepertiga. Mematikan salah satu di antara tiga saluran itulah, yang
akan dilakukan Prof Shao. Kelak, kalau limpa sudah membesar lagi, masih ada
satu di antara dua saluran utama yang bisa dimatikan lagi. Tentu pemotongan
limpa itu tidak bisa dilakukan tiga kali karena sama artinya dengan membuang
limpa sama sekali. Tapi, dua tahap pemotongan limpa tersebut dianggap cukup
untuk mengulur waktu sampai lima tahun.
Saya tetap minta
waktu memikirkannya. Saya kembali ke Indonesia lagi agar, antara lain, bisa
mampir ke Singapura. Saya ingin mendapatkan opini pembanding.
Saya harus
kembali ke tanah air karena sudah terlanjur komit untuk mengatasi kelangkaan
listrik di Kaltim. Dari Kaltim-lah, saya memulai karir sehingga saya anggap
Kaltim seperti daerah kelahiran sendiri. Setamat SMA, saya memang ke Kaltim,
ikut kakak sulung saya. Tujuan satu: agar bisa kuliah. Di Jawa saya tidak
mungkin bisa masuk universitas karena tidak punya biaya. Di Kaltim, masuk
univeristas masih gampang dan murah. Saya masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel cabang Samarinda. Kampusnya di sebuah rumah panggung di Jalan Panglima
Batur IV. Sewaktu kuliah, saya sering melihat ke bawah. Karena lantai papannya
tidak cukup rapat, saya bisa menyaksikan apa yang terjadi di kolong yang sering
digenangi air. Sering ada suara "krosak" di kolong itu yang lebih
menarik perhatian saya daripada mata kuliah. Itulah suara biawak berkelahi.
Biawak adalah binatang seperti buaya, tapi hidup di darat. Sebagai tamatan
aliyah, saya memang tidak mendapat ilmu baru dari mata kuliah yang sudah saya
pelajari semua di kelas satu SMA itu.
Tahun-tahun
belakangan Kaltim mengalami krisis listrik. Pemadaman terjadi bergilir. Banyak
kampung miskin terbakar karena saat lampu mati, mereka harus menyalakan lilin.
Nah, lilin itulah yang sering mengakibatkan kebakaran. PLN tidak bisa banyak
berbuat karena selalu rugi. Setahun PLN Kaltim bisa rugi hampir setengah triliun
rupiah (2005). Kaltim tidak bisa berharap banyak pada PLN.
Pembangkit-pembangkit listrik PLN sangat tidak efisien. Untuk menghasilkan satu
watt, diperlukan biaya Rp 2.000-an. Padahal, rakyat hanya dikenai tarif Rp 750.
Kalau tarif listrik dinaikkan, yang terjadi adalah demo. Jadi, sejak sebelum
matahari terbit pun, PLN sudah tahu bahwa hari itu perusahaannya akan rugi Rp
1.250 per watt.
Maka, saya
meyakinkan pimpinan-pimpinan daerah di sana, mulai gubernur sampai DPRD, agar
mau menyisihkan sebagian anggaran untuk investasi di listrik. Membangun PLTU
yang efisien, yang biaya produksi listriknya hanya Rp 500 per watt. Kalau
dijual Rp 750 per watt kepada masyarakat, PLN langsung untung. Anggaran Kaltim
yang besar karena sumber alamnya yang melimpah jangan habis untuk kebutuhan
konsumtif. Pemda setuju asal saya mau jadi direktur utama perusahaan daerah di
sana. Seperti yang saya lakukan di Jatim.
Proyek energi
yang kelihatannya mulia itu ternyata juga memakan bukan hanya dana saya, tapi
juga energi saya. Dan, yang utama lagi memakan batin saya. Meski tujuannya
begitu hebat, logikanya begitu baik, dan hasilnya bagi PLN juga begitu nyata
(dari perusahan rugi akan langsung jadi laba), proses perizinannya ternyata
sangat panjang, melelahkan, dan menjengkelkan. Dua tahun baru beres. Padahal,
saya kenal direksi PLN-nya, kenal menteri-menteri di bidangnya, kenal wakil
presiden, dan bahkan presidennya. Memang, saya tidak pernah memanfaatkan
kedekatan saya itu untuk urusan tersebut. Sudah jadi prinsip saya untuk tidak memanfaatkan
keberadaan saya di pers untuk menekan seseorang.
Pernah suatu
saat saya diajak ke Tiongkok oleh Wapres Jusuf Kalla. Di atas pesawat, Wapres
mengumpulkan menteri dan direksi PLN untuk membahas kasus Kaltim itu. Ini bukan
karena saya mengadu, tapi karena Chairul Tanjung yang berinisiatif. Bos Bank
Mega yang juga bos Trans TV itu yang prihatin dengan keluhan saya. "Ini
harus selesai. Kalau Dahlan saja mengalami hal seperti ini, bagaimana yang
lain?" katanya. Saya malu proyek sekecil itu saja sampai dibahas di forum
yang begitu tinggi. Tinggi level dan tinggi pula tempatnya. Di dalam pesawat
yang berada 36.000 kaki di atas permukaan laut.
"Urusan
kecil begini kok panjang sekali, ya," kata saya kepada Chairul Tanjung.
Sebagian karena malu, sebagian lagi sebagai ungkapan terima kasih atas
inisiatifnya.
"Ini memang
rusan kecil bagi Anda. Tapi kalau tembok ini tidak dijebol, siapa yang mau
masuk jadi investor listrik," kata bos Bank Mega yang namanya meroket
tahun-tahun terakhir ini. "Saya saja tidak mau. Saya baru mau masuk ke
listrik kalau urusan ini sudah selesai," tambahnya.
Tentu sebenarnya
juga bukan kecil bagi saya. Kecil yang saya maksud adalah dari sudut pandang
negara. Ini besar bagi saya, terutama risikonya. Risiko pada keuangan saya dan
pada kesehatan saya. Memang, saya akan dicatat sebagai penjebol tembok
kebuntuan listrik itu. Namun, bisa jadi, kepala saya juga pecah ketika
membenturnya. Tembok tersebut terlalu tebal.
Memang ada juga
salah saya. Saya terlalu terpengaruh suasana di Tiongkok. Ini gara-gara saya
terlalu sering ke negeri itu dan melihat bagaimana antusiasnya pemerintah kalau
ada investor datang. Bayangan saya juga begitu sewaktu saya memiliki semangat
untuk ikut mengatasi krisis listrik di Kaltim. Pasti pemerintah di segala lapisan
akan senang. Kalau proyek tersebut berhasil, kan sama artinya dengan menyumbang
Rp 500 miliar tiap tahun kepada negara? Bayangan saya pemerintah akan membuat
segalanya lancar.
Kesalahan kedua
saya, ketika setahun mengurus izin ini tidak berhasil (karena sejumlah
peraturan yang tidak mengizinkan PLN menandatangani kontrak jangka panjang),
saya setuju untuk kompromi. Yakni cukup mendapatkan kontrak tahunan saja dari
PLN. Kalau kontrak tahunan, PLN tidak melanggar peraturan. Apalagi ada bank
yang bersedia memberikan pinjaman meski kontraknya hanya tahunan. Ternyata,
ujung-ujungnya, bank tetap mensyaratkan kontrak jangka panjang. Saya memahami
aturan bank seperti itu. Saya juga memahami PLN tidak boleh melanggar aturan.
Yang tidak saya pahami adalah mengapa ada peraturan yang menghambat kemajuan
seperti itu. Kalau toh sudah telanjur ada karena masa lalu yang kelam, mengapa
tidak segera dicabut.
Maka, lagi-lagi
kami harus mengurus izin kontrak panjang dengan PLN. Tepatnya izin dari tiga
lembaga, masing-masing dengan birokrasinya sendiri: kementerian energi,
kementerian BUMN, dan PLN. Di kementerian energi saya tidak punya masalah. Di
PLN hanya sedikit masalah. Tapi, saya buntu di kantor menteri BUMN. Padahal,
saya kenal Menteri Soegiharto. Bahkan, dia juga ikut dalam rapat tingkat tinggi
yang benar-benar tinggi itu.
Persoalan
tersebut membuat saya harus mengabaikan peringatan keras Prof Shao bahwa saya
tidak boleh terbang, tidak boleh lelah, tidak boleh mikir, tidak boleh marah,
tidak boleh kesal. Saya ingat kata-kata Prof Shao bahwa walau terjadi kebakaran
di rumah tetangga pun, saya tidak boleh peduli. Tapi, yang kebakaran ini bukan
rumah tetangga. Rumah saya sendiri: Kaltim. Juga rumah besar saya: Indonesia.
Indonesia yang begitu rumit peraturannya.
Saya harus
pulang ke Indonesia untuk terus mengurus semua itu. Saya menyesal telah
berinisiatif mengatasi kelangkaan listrik di Kaltim tersebut. Menyesal luar
biasa. Tapi sudah tidak bisa mundur lagi. Meski kondisi badan saya sudah
sedemikian parah, saya tidak bisa lari dari tanggung jawab itu. Tidak pantas
saya sebutkan di sini apa usaha yang saya lakukan untuk mengatasi kebuntuan di
kantor (Soegiharto, sebelum dicopot) menteri BUMN. Yang penting, akhirnya sang
menteri mengeluarkan surat persetujuan. Sebuah persetujuan yang sudah sangat
mahal; bukan saja karena prosesnya, tapi juga akibatnya. Lambatnya proses ini
telah membuat biaya investasi membengkak luar biasa.
Tapi, ini sudah
bukan lagi soal untung rugi. Ini soal krisis listrik yang harus diatasi.
Tiga-empat bulan lagi (akhir tahun ini), insya Allah Kaltim mulai bisa
mengatasi kelangkaan listrik. Liver baru saya mungkin juga akan ikut
berbinar-binar. Saya dengar setelah soal Kaltim itu selesai, berturut-turut
banyak izin yang ditandatangani PLN untuk investor-investor lain.
Dalam perjalanan
pulang untuk mengurus listrik itu, saya bisa mampir ke Singapura. Saya ingin
bertanya ke dokter di Singapura, benarkah limpa saya harus dipotong? Mengapa
dokter di Singapura sama sekali tidak pernah menyinggung soal limpa?
(Bersambung)
September 13, 2007
Waktunya Tiba, ketika Menggigit Pisang
Berlumur Darah
Pengalaman Pribadi Menjalani
Transplantasi Liver (19)
SETUJUKAH dokter
Singapura dengan pendapat Prof Shao dari Tianjin, Tiongkok, tentang rencana
pemotongan limpa saya?
"Kalau
tujuannya untuk menaikkan platelet, memang OK," katanya. Dia juga setuju
kalau sampai platelet turun terus, ketahanan tubuh saya kian habis dan saya
akan mengalami perdarahan dari setiap lubang yang saya miliki. Ini juga sama
dengan penjelasan Prof Shao. Waktu itu saya juga tanya ke Prof Shao: Pada angka
berapa perdarahan itu akan terjadi? Katakanlah platelet saya (yang seharusnya
minimal 150) sekarang tinggal 60. Dan masih akan turun terus.
"Setiap
orang tidak sama," jawab dr Shao. "Ada yang pada angka 60 seperti
Anda sekarang sudah perdarahan," tambahnya. "Tapi, ada juga yang baru
perdarahan ketika platelet-nya sudah 50," katanya lagi. Kapan platelet
saya akan turun sampai angka 50? Berapa minggu lagi? "Tidak bisa diperkirakan
begitu. Bisa saja tiba-tiba drop jadi 50 atau bahkan di bawahnya,"
katanya. "Perhatikan saja lubang hidung Anda. Atau telinga. Atau kalau
sedang sikat gigi," tambahnya.
Meski setuju
platelet saya harus dinaikkan, dokter Singapura ternyata tidak setuju kalau itu
dilakukan dengan cara memotong limpa. "Dibuang saja sekalian,"
ujarnya. Uh! Dalam istilah medis, pembuangan limpa itu disebut dengan
splenectomy.
Mendengar kata
"limpa dipotong" saja, saya sudah tidak senang. Ini malah disuruh
membuang. "Tidak apa-apa. Orang bisa hidup tanpa limpa," tambah
dokter di Singapura itu. Memang, orang bisa hidup tanpa limpa. Tetapi, kan
lantas tidak terlalu tahan terhadap infeksi. Makanya saya tanya ke dokter di
Singapura itu. Fungsi limpanya bagaimana? "Diganti obat," jawabnya.
Pemotongan
limpa, menurut dokter Singapura itu, sangat berbahaya. Bisa timbul infeksi di
tiga tempat yang akan mengakibatkan kematian. Yakni, infeksi di selaput dada,
infeksi di tempat limpa dipotong. "Singapura sudah lama tidak mau lagi
memotong limpa. Sudah lebih 15 tahun," katanya. "Membuang limpa sama
sekali malah lebih safe," tambahnya.
Penjelasannya,
meski singkat, sangat masuk akal. Saya bisa menerima sepenuhnya. Tapi, saya
juga berpikir: Masak Prof Shao tidak tahu itu. Tidak mungkin, rasanya. Maka
saya tidak begitu saja mengambil keputusan membuang limpa. Nanti, dalam
kesempatan saya ke Tiongkok lagi, saya akan menemui Prof Shao untuk
’menguji’-nya. Itu, tentu, kalau masih sempat.
***
Saya memang
harus ke Tiongkok lagi. Ada beberapa urusan. Urusan Jawa Pos sendiri, urusan
pabrik steel conveyor belt-nya perusahaan daerah Jatim, urusan perusahaan
daerah Kaltim, dan urusan menepati janji. Saya sudah berjanji kepada Dirjen
minyak dan gas yang baru untuk mengajaknya ke Tiongkok. Untuk melihat bagaimana
negara itu bekerja keras mencukupi kebutuhan minyak.
Sudah lama saya
gemas, mengapa Indonesia sebagai negara penghasil minyak justru menderita
ketika harga minyak dunia membubung? Sampai harus menaikkan harga BBM yang
menghebohkan itu? Mengapa tidak justru menikmatinya? Ini semua karena produksi
minyak Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Terakhir, pada 2005, sudah
berada di bawah satu juta barel per hari. Sudah sangat tidak layak menjadi
anggota OPEC.
Kebetulan Dirjen
Migas yang baru juga berambisi mengatasi hal itu. Saya ingin membantunya meski
saya hanyalah rakyat biasa. Saya sering ke ladang minyak di Tiongkok. Saya
melihat betapa semangatnya orang di Daqing (Provinsi Heilongjiang) dan di
Panjin (Provinsi Liaoning) menggali minyak. Padahal, sumur-sumur minyak di sana
lebih dalam dan iklimnya juga lebih beku. Minyak yang didapat pun lebih jelek
dibanding minyak mentah Indonesia. Tapi, semangat untuk menggalinya luar biasa.
Dengan alat-alat yang lebih sederhana mereka bisa menghasilkan minyak lebih banyak.
Hari itu
kebetulan Dirjen Migas punya acara di Shanghai. Maka, saya ingin mengajaknya
mampir ke Liaoning dan Heilongjiang. Saya janjian bertemu di Kota Dalian. Di
bandara kota itu pukul 24.00, yakni saat pesawatnya mendarat dari Shanghai.
Paginya saya
masih di kota Tianjin, untuk bertemu Prof Shao. Kepada ahli penyakit liver ini
langsung saja saya semprotkan pertanyaan berdasar pendapat dokter di Singapura.
"Di Singapura dokter tidak mau lagi memotong limpa. Di sana cara itu sudah
dianggap kuno," kata saya. "Siapa bilang itu kuno?" sergahnya.
Suaranya meninggi. "Justru membuang limpa itu yang kuno sekali. Itu cara
60 tahun yang lalu," katanya.
Ketika saya
tanya soal risiko infeksi di tiga tempat yang sangat membahayakan, dia tidak
mengelak. "Tentu saya tahu. Tapi, juga tahu cara menghindarinya,"’
katanya. Jawabannya tegas, mantap, dan percaya diri. Tinggal saya yang harus
memilih lebih percaya kepada yang mana. Dua-duanya masuk akal. Dua-duanya bisa
diterima secara medis. Ini soal pilihan. Giliran saya sendiri yang harus
memutuskan.
Segera saya
gunakan ilmu mantiq saya: sudah berapa kali Prof Shao melakukan pemotongan
limpa? "Sudah banyak kali," katanya. "Banyak itu berapa? Berapa
puluh?" tanya saya lagi. "Sudah lebih dari 500," jawabnya
mantap. Ya, sudah. Saya pilih dipotong saja. Biar berkurang, tapi masih ada
sisanya. Saya ingat usul-fikh ahli sunnah wal jamaah: Sesuatu yang tidak bisa
dipakai semua, jangan dibuang semua.
Maka saya pun
memutuskan akan titip nasib ke Prof Shao. Tapi, sore itu saya harus ke Dalian,
karena tengah malam nanti harus menjemput Dirjen Migas di bandara kota itu.
Penerbangan dari Tianjin ke Dalian memakan waktu satu jam. "Saya minta
izin ke Dalian dulu. Rumah besar saya, Indonesia, akan terbakar," gurau
saya kepada Prof Shao. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Menarik panjang
napasnya.
Tiba di Dalian
sudah agak malam. Sudah waktunya makan malam. Saat makan malam itulah saya
kaget. Ketika saya menggigit pisang, sisa pisang itu berlumur darah! "This
is the time! Wo de shi jian dao le. Tibalah sudah waktu saya," kata saya
dalam hati. Saya menundukkan kepala sesaat. Memikirkan apa yang harus saya
perbuat.
Saya lari ke
toilet. Berkumur. Merah airnya. Berkumur lagi dan berkumur lagi. Ah, hilang
merahnya. Satu jam kemudian saya berkumur lagi, tidak ada darahnya.
Saya pun
bertekad tetap memenuhi komitmen saya. Saat menyalami kedatangan Dirjen Migas,
saya tidak menceritakan apa yang terjadi atas diri saya. Saya terus tersenyum
dan memberinya semangat untuk terus membangun dunia minyak. Saya tahu tekadnya
kuat sekali untuk memperbaiki perminyakan Indonesia, dan karena itu saya
antusias membantunya.
Pagi-pagi kami
bermobil sejauh 400 km ke Panjin. Sorenya bermobil lagi ke kota Shenyang.
Malamnya terbang ke kota Harbin. Pagi-pagi bermobil 500 kilometer ke kota
Daqing. Dirjen serius sekali melihat semua itu. "Mereka ini benar-benar
seperti koret-koret (mengais sisa-sisa) minyak," katanya. Malam hari balik
lagi ke Harbin. Pagi-pagi Dirjen kembali ke Beijing untuk balik ke Indonesia.
Saya terbang ke Tianjin untuk pemotongan limpa saya.
"Lakukan
sekarang!" kata saya begitu bertemu Prof Shao.
"Apa?"
tanyanya.
"Potong
saja limpa saya," kata saya.
"Mengapa?"
tanyanya lagi, kali ini seperti tidak percaya. Juga gondoknya kepada saya
meningkat. Dia sudah sering mengancam untuk tidak mau lagi mengurus saya.
"Wo bu guan ni," katanya.
Tapi, saya tahu
dia baik. Ujung-ujungnya luluh juga hatinya.
"Tidak bisa
sekarang. Harus ada persetujuan istri Anda," katanya.
"Saya bisa
usahakan sekarang," tegas saya.
Saya lantas
menelepon istri saya. "Kalau nanti ada teman Jawa Pos membawa formulir ke
rumah, tanda tangani saja. Formulirnya dalam bahasa Mandarin, kita nggak tahu
maksudnya," kata saya. Istri saya tidak bertanya banyak. "Saya akan
operasi kecil," kata saya tidak ingin menggundahkan hatinya.
Saya memang
sudah beberapa kali operasi kecil. Yakni, untuk mengeluarkan benjolan yang ada
di bawah kulit di beberapa bagian di tubuh saya. Saya langsung minta formulir
persetujuan operasi dan memfaksimilikan ke Surabaya. Setelah ditandatangani
istri saya, dikirim balik ke Tianjin.
"Ini
persetujuan istri saya," kata saya.
"Ini
apa?" tanyanya melihat tanda tangan istri saya yang tidak lazim untuk mata
orang Tiongkok.
"Itu tanda
tangan istri saya. Bentuknya tidak penting. Tapi, doa di balik tekenan itu yang
penting," kata saya ingin setengah memuji istri saya, setengah melucu.
Ternyata Prof
Shao tidak tersenyum. Saya lupa kalau dia komunis, yang tidak tahu apa itu doa.
Dengan datangnya
persetujuan istri saya, saya mengira operasi pemotongan limpa bisa dilakukan
hari itu, atau besoknya. Ternyata harus tiga hari kemudian. Mengapa? Karena
ruang operasinya baru saja dirombak. Hari itu baru selesai. Dan, saya tidak
boleh menjadi pasien pertama yang menggunakannya. Jadi, tidak bisa tanggal 6
Oktober 2006. Harus 8 Oktober.
Padahal, saya
ingin operasi itu dilakukan pada 6 Oktober. Lalu, sebagaimana dijelaskan Prof
Shao, sebulan kemudian saya sudah akan bisa keluar dari rumah sakit. Setelah
operasi, 8 jam saya tidak boleh bergerak. Lalu seminggu tidak boleh turun dari
tempat tidur. Tiga minggu berikutnya harus tetap di rumah sakit.
Saya ingin
operasi itu dilakukan tanggal 6 karena pada tanggal 7 bulan berikutnya ada
acara penting di Indonesia: menandatangani persetujuan proyek PLTU Kaltim dan
peresmian gedung Expo Jatim. Maksud saya, tanggal 5 sebulan kemudian saya sudah
bisa keluar dari rumah sakit. Langsung ke bandara untuk pulang ke Surabaya.
Tanggal 7 sudah menandatangani perjanjian PLTU Kaltim dengan konsorsium bank
dan meresmikan gedung Expo Jatim. Saya tidak pernah membayangkan operasi
pemotongan limpa ini akan gagal.
Namun, dengan
mundurnya tanggal operasi, waktu recovery saya tidak cukup. Itulah sebabnya,
saat upacara tersebut saya terlihat pucat. Keringat dingin memang memenuhi
badan saya. Hari itu, ketika saya di panggung, seharusnya masih di atas tempat
tidur di rumah sakit di Tianjin. (Bersambung)
September 14,
2007
Baru Tahu
Mengapa Dokter Singapura Pilih Potong Limpa Saya
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (20)
ANCAMAN infeksi
yang serius setelah pemotongan (embolisasi) limpa, memang tidak dianggap enteng
oleh Prof Shao. Apalagi, suhu badan saya, pada hari-hari pertama, naik sangat
tinggi: lebih dari 38 derajat Celsius. Tapi, semua bisa diatasi. Seminggu
kemudian, suhu badan saya kembali normal dan stabil. Rasa sakit setelah
pemotongan itu lebih hebat daripada transplantasi liver. Juga lebih lama:
seminggu penuh.
Selama seminggu
itu pula Prof Shao dalam ketegangan. "Sudah lima hari saya belum pulang.
Saya tidur di rumah sakit, di kantor saya. Menunggui Anda," ujar dr Shao.
"Sekarang Anda sudah stabil. Saya mau istirahat," pamitnya.
Penampilannya memang agak lecek. Tidak secantik ketika dalam keadaan segar.
Kalau sebelum
operasi saya lihat dia sering berlinang air mata, kini ganti saya yang amat
terharu. Saya minta maaf berkali-kali karena telah membuatnya tidak bisa
pulang. Saya juga tabik tak henti-hentinya. Tabik dengan cara Tiongkok. Ini
untuk mewakili ucapan terima kasih saya kepadanya yang tidak terhingga. Begitu
besar perhatiannya. Begitu tinggi tanggung jawabnya.
Saat itulah saya
mengerti mengapa banyak dokter di Singapura memilih membuang saja limpa saya
daripada memotongnya. Perawatan setelah pemotongan ternyata begitu sulit.
Kebalikannya, perawatan setelah pembuangan limpa akan lebih mudah. Bahwa
setelah limpa dibuang akan merepotkan pasien seumur hidup, itu kan sudah di
luar tangung jawab dokter yang membuangnya. "Mana ada dokter di negara
lain yang mau menunggui pasien sampai lima hari tidak pulang," kata saya
dalam hati.
Tiga hari
setelah libur, barulah Prof Shao menemui saya lagi di kamar rumah sakit.
Wajahnya masih tidak terlalu cerah, seperti orang sakit. Matanya yang biasanya
tajam, kali ini agak memerah. Bulu matanya yang hitam seperti bendera setengah
tiang. Tahu sedang saya perhatikan, dia merasa risi. "Dua hari saya
flu," katanya segera. "Semua gara-gara Anda," tambahnya.
Sekali lagi saya
minta maaf berulang-ulang. Ternyata saya telah menyiksanya. Rupanya, begitu
kondisi saya stabil, ketegangan lima hari yang mencekam dirinya hilang.
Bersamaan dengan itu flu datang menyerang.
"Jadi, tiga
hari di rumah tidak bisa menikmati," katanya seperti ingin bergurau.
Guraunya selalu ringan-ringan saja. Tidak pernah dikemukakan dengan lepas. Tertutupi
oleh jabatan tingginya dan mungkin juga kekomunisannya.
Tiga minggu
kemudian, badan saya sudah terasa enak. Lalu ingat lagi acara PLTU Kaltim dan
gedung Expo Jatim yang sudah menanti. Saya tahu tidak akan diizinkan pulang.
Tapi, saya harus pulang. Ini soal kebakaran rumah memang, tapi yang terbakar
rumah sendiri, bukan rumah tetangga.
Pagi-pagi Guo
Qiang, anak saudara angkat saya Mr Guo, saya minta menerjemahkan surat yang
saya buat. Guo Qiang saya minta menuliskannya dalam bahasa Mandarin yang indah.
Maksud saya yang akan bisa meluluhkan hati Prof Shao. Kemampuan bahasa Mandarin
saya belum sampai pada tingkat untuk bisa dipakai merayu.
Surat itu saya
mulai dengan pujian. "Mungkin, Andalah dokter terbaik di muka bumi
ini," tulis saya di pembukaan surat. Setengah memuji, setengah memompa
dadanya. "Mana ada dokter yang mau lima hari tidak pulang untuk menunggui
pasiennya?" saya menunjukkan fakta. Saya tidak mengada-ada, meski fakta
itu memang saya pakai merayu.
Bait kedua saya
manfaatkan untuk ucapan terima kasih. Lalu minta maaf. Baru pada bait ketiga
saya ’memperkosa’-nya. Yakni, memasukkan kalimat-kalimat merendah, tapi juga
berisi memaksanya agar mengizinkan saya pulang. Saya juga mencoba lagi
kemampuan ilmu mantiq yang saya pelajari di aliyah dulu.
Tiba-tiba dia
masuk kamar saya dengan menggenggam surat itu. Wajahnya merah serius.
Langkahnya cepat. Beberapa dokter muda yang mengikutinya sampai agak tertinggal
di belakang. Pagi itu, yang mestinya melakukan kegiatan rutin, langsung diubah
untuk menemui saya. Dari ekspresi wajah dan body language-nya, Prof Shao
seperti tidak membaca alinea pertama. Rayuan saya ternyata telah diabaikannya.
Guru besar ternama di bidang liver itu seperti langsung membaca alinea yang
’memperkosa’-nya.
Bertatapan dengan
saya, dia tidak langsung berkata-kata. Dia menatap wajah saya dengan tatapan
multi-arti: marah, kesal, dan gondok bercampur jadi satu. Mudah-mudahan masih
terselip raya sayang di dalam campuran itu. Lama dia tidak berkata-kata.
Sampai-sampai banyak dokter muda yang menunduk. Setelah menarik napas panjang,
barulah dia mengucapkan kalimat yang bernada putus asa. "Sudah saya
duga," katanya.
"Bukankah
indikasi-indikasi dalam darah saya sudah menunjukkan bahwa saya kuat terbang
jauh?" kata saya memecah kebekuan. Lalu saya menunjukkan hasil lab.
"HB saya 13, SGPT-OT saya mendekati normal, Plt saya sudah 120, tekanan
darah juga normal," kata saya.
Prof Shao
seperti kian gondok. Mungkin merasa kok saya seperti sok tahu kedokteran.
"Semua itu benar," jawabnya. "Tapi, ada satu data yang saya
sembunyikan. HBV-DNA Anda masih 15 juta. Padahal, seharusnya di bawah 100
saja," katanya.
Saya terpojok.
Tidak menduga sama sekali dia merahasiakan itu dari saya. Bahkan, saya tidak
tahu apa hubungannya antara sakit saya dan HBV-DNA. Kami terdiam lama. Saya
lihat Prof Shao mulai menitikkan air mata. Melihat itu, dokter-dokter muda yang
menyertainya menyerahkan tisu kepadanya. Mata saya juga mulai berlinang. Saya
dalam posisi sulit. Saya terjepit antara keharuan dan romantisme di satu pihak
dengan rasa tanggung jawab di pihak lain. Tanggung jawab yang juga tidak kecil.
Tanggung jawab dan risiko sebagai pimpinan. Tanggung jawab kepada rakyat Kaltim
dan Perusda Jatim. Lalu muncullah keteguhan dalam hati saya untuk lebih
mementingkan tanggung jawab itu.
Maka, saya
putuskan untuk berbuat ini di depan Prof Shao. Turun dari tempat tidur dan
ingin bergegas mencium kakinya. Ini sebagai tanda bahwa saya minta maaf yang
dalam, tapi sekaligus minta dengan sangat agar diperbolehkan pulang. Dia tahu
saya tidak pura-pura. Saya sudah hampir menubruk kakinya. Prof Shao bergegas
mengangkat kepala saya. Dia menahan tangis. Robert Lai juga mengusap-usap
matanya. Demikian juga istri saya.
Lalu Prof Shao
menarik napas panjang. "Ya, sudah. Tidak bisa dicegah. Saya akan izinkan.
Tapi, obat yang saya siapkan nanti harus diminum," katanya melemah. Kini
ganti saya yang lebih banyak menitikkan air mata.
Besok paginya,
dari rumah sakit saya langsung ke bandara. Saya pakai kursi roda selama dalam
perjalanan pulang. Dengan diungkapkannya data soal kadar HBV-DNA saya, ternyata
saya belum prima. Saya harus lebih hati-hati.
***
Kian hari
kondisi saya kian baik. HBV-DNA saya juga menurun drastis. Seminggu kemudian
sudah menjadi 1,5 juta. Sebulan kemudian sudah normal.
Kini saya sudah
terbebas dari ancaman tiba-tiba meninggal. Juga sudah terhindar dari ancaman
tiba-tiba perdarahan dari lubang-lubang tubuh saya. Apalagi, sebelum
potong-limpa itu saya juga sudah dua kali melakukan TACE di Singapura. Yakni,
mengusahakan pembunuhan atas dua kanker liver saya dengan cara dimasuki alat
pembunuh lewat selangkangan saya.
Saya tahu semua
itu tidak menyelesaikan persoalan. Sakit saya sudah terlewat parah. Semua itu
hanya usaha untuk ulur-waktu, buying-time. Tapi, setidaknya saya kini punya
kesempatan beberapa bulan untuk memikirkan cara terbaik mengatasi
sirosis-kanker saya secara permanen. Termasuk mempertimbangkan untuk
transplantasi. (Bersambung)
September 15,
2007
Yang Pro dan
Yang Anti-Transplan Bertinju Sengit dalam Pikiran
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (21)
KALAU saja saya
dulu peduli sedikit dengan badan saya, sebenarnya masih ada jalan agar
terhindar dari transplantasi. Juga terhindar dari potong-limpa. Katakanlah
suntikan interveron yang saya jalani sampai 70 kali (setiap dua hari sekali)
itu tidak berhasil "memingsankan" virus hepatitis B saya, tapi
belakangan sebenarnya keluar obat baru yang harus diminum tiap hari. Agar virus
yang tidak mungkin lagi dikeluarkan dari liver itu "tidur nyenyak"
saja di dalam liver. "Bangun"-nya virus hepatitis B akan langsung
menyerang liver hingga kelak jadi sirosis.
Kalau toh obat
itu juga tidak berhasil, masih ada obat lain yang lebih mahal. Nama generik
obat itu Octreotide (karena saya tak boleh menyebut nama obatnya). Obat
tersebut harus disuntikkan tiap dua hari sekali selama sembilan bulan. Harga
obatnya saja, untuk sekali suntik, sekitar Rp 1,1 juta. Selain Octreotide,
masih ada satu obat baru lagi yang juga harus disuntikkan ke saya selama
sembilan bulan berturut-turut. Nama generiknya Thymalfasin atau Thymosin
Alpha-1. Yang ini nyuntiknya sebulan sekali.
Antara satu
dokter dengan lainnya memang masih berbeda pendapat mengenai keampuhan
obat-obat itu. Tapi, bagi pasien yang ingin sembuh dan punya uang, pasti
tergoda untuk mencobanya.
Sayang, saya
tahunya sudah sangat terlambat. Baru dua tahun lalu saya mendapatkan informasi
tentang obat-obat itu. Yang Anticavier saya ketahui dari dokter di Singapura.
Sedang dua obat yang lain saya ketahui dari Prof Shao. Semua saya ketahui
setelah liver saya menjadi sirosis. Dan bahkan ketika sirosis saya sudah
berkembang ke kanker. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Karena
itu, meski telat, saya tetap memakai obat-obat tersebut. Setidaknya, bisa
membantu saya buying time. Mengolor waktu. Untuk memberikan kesempatan bagi
saya memikirkan harus melakukan apa yang lebih mendasar. Termasuk mulai
mempertimbangkan kata yang mengerikan itu: transplantasi liver.
Waktu itu, kata
"transplantasi" sebenarnya masih jauh dari pikiran. Masak saya sampai
harus melakukan itu? Masak saya separah itu? Masak tidak ada jalan lain? Masak
tidak akan ada keajaiban? Masak tidak ada obat alternatif? Masak tidak ada
dukun atau kiai yang linuwih (punya ilmu lebih)?
Tapi, saya harus
tetap rasional. Tetap menggunakan pemberian Tuhan yang sangat berharga itu:
otak. Banyak teman menganjurkan juga untuk pindah ke jalur alternatif. Ke obat
tradisional atau ke kekuatan supranatural. Baik yang kejawen maupun yang
dibungkus religius. "Siapa tahu ada rekayasa Tuhan di situ," kata
teman saya.
Rekayasa Tuhan?
Apakah Tuhan punya hobi merekayasa? Saya lebih percaya bahwa Tuhan akan
konsisten dengan sunatullah-Nya. Termasuk sunatullah bahwa kalau tidak
melakukan imunisasi hepatitis, dia akan punya kemungkinan terjangkit hepatitis.
Kalau sudah kena hepatitis, pasti akan mengarah ke sirosis. Dan kalau sudah
sirosis, pasti akan menjadi kanker.
Karena itu, kosa
kata "transplan" sudah mulai masuk di bawah sadar. Meski bentuknya
masih pertanyaan "masak harus sampai transplan?", tapi itu juga
berarti secara tidak sadar kata "transplan" sudah mulai masuk dalam
proses internalisasi ke pikiran saya. Satu proses awal dalam sebuah perjalanan
spiritual untuk sampai pada kata akhir: siap transplan.
Kalau persoalannya
hanya sirosis (sirosis kok dibilang "hanya"), transplantasi masih
bisa ditunda. Meski sirosis tidak bisa disembuhkan, tapi mungkin masih bisa
diperlambat.
Begitu pula
kalau masalahnya hanya kanker (kanker kok juga dibilang "hanya").
Sebab, masih ada tiga cara lain untuk mengatasinya, selain kemoterapi. Yakni,
dengan memotong bagian yang terkena kanker, di-RFA (radio frequency ablation)
atau di-TACE (trans arterial chemoembolization).
Masalahnya,
liver saya sudah "dikeroyok" sirosis dan kanker, sehingga tidak mudah
untuk mengatasi kankernya. Misalnya, mau dipotong bagian yang ada kankernya.
Itu tidak mungkin karena sirosis membuat permukaan liver saya mengeras.
Permukaan liver yang mengeras itu, kalau dipotong, akan menyebabkan pendarahan
hebat yang bisa membunuh saya. Pendarahan di liver sangat tidak mudah untuk
dihentikan, sekalipun oleh dokter yang paling pintar.
Begitu pula
kalau mau di-RFA atau dibakar dengan energi panas. Sebab, untuk membakar
(mengablasi) sel kanker saya, dokter harus memasukkan sejenis metal berbentuk
kail yang punya beberapa mata kail. Kail itu ditembuskan ke dalam liver melalui
perut. Cara itu tentu sangat membahayakan saya karena mata kail tersebut harus
lebih dulu menjebol permukaan liver saya, sebelum masuk ke sel kanker. Tindakan
itu jelas bisa menyebabkan liver mengalami pendarahan.
Karena itu,
diputuskanlah untuk membunuh kanker saya dengan metode TACE. Cara itu pada
prinsipnya sama dengan kemoterapi. Bedanya, obat kemonya tidak diinfuskan
seperti umumnya kemoterapi, melainkan diinjeksikan langsung ke sel kankernya
melalui selang kecil panjang (kateter) yang dimasukkan melalui pembuluh darah
besar di pangkal paha (arteri femoral).
Dengan bantuan
fluoroscopy, sejenis sinar rontgen, kateter itu lantas didorong masuk sampai ke
arteri (pembuluh darah yang membawa darah bersih dan sari makanan dari jantung)
yang di hati.
Setelah obat
kemonya menembus sasaran, dokter lantas memasukkan lagi obat lain, melalui
kateter yang sama, untuk memblokir cabang-cabang arteri di liver yang melewati
sel kanker saya. Ini perlunya untuk menutup akses makanan ke sel-sel kanker
itu. Dengan begitu, diharapkan sel-sel kanker saya akan kelaparan dan tak lama
kemudian mati.
Tindakan medis
tersebut memakan waktu kurang lebih dua jam. Itu sudah termasuk mencabut
kateter di pangkal paha saya dan membalut kuat-kuat bekas sayatan yang di paha.
Selama hampir semalam saya tidak boleh turun ranjang karena khawatir luka
sayatan itu terbuka, sehingga terjadi pendarahan. Kalau itu terjadi, akibatnya
bisa fatal karena sayatan tersebut menembus sampai ke pembuluh darah besar di
paha.
Jadi, kalau
problemnya hanya sirosis dan kanker (Huh! Sirosis dan kanker kok masih dibilang
"hanya"), transplantasi juga masih bisa ditunda dengan cara di atas.
Namun,
persoalannya, akibat sirosis itu, bagian-bagian tubuh saya yang lain ikut rusak
dan bisa saja jadi penyebab kematian yang lebih besar. Bahkan, kerusakan pada
bagian tubuh yang masih baik akan terus terjadi. Kalau sampai tahun lalu, yang
sudah ikutan rusak adalah saluran pencernaan, empedu, dan limpa saya. Kalau
saya biarkan, barangkali ginjal, selaput perut, jantung, dan paru saya juga
segera rusak.
Limpa saya saja
sudah membesar. Sudah tiga kali lipat lebih besar daripada limpa orang normal
karena darah yang tidak bisa lancar masuk ke liver mbendal (terpental) masuk ke
limpa.
Limpa saya itu
kian hari masih akan terus membesar. Lama-lama, kalau pinggang saya kena bola
atau kena sodok, limpa bisa pecah: mati. Tidak pecah pun, limpa yang membesar
membuat darah putih saya menurun. Padahal, darah putih berfungsi, antara lain,
menguburkan sel-sel darah merah yang mati. Sel darah merah memang harus mati
dalam kurun waktu tertentu dan harus "dikuburkan". Darah putihlah
yang menguburkannya dengan cara "memakan"-nya. Pekerjaan mengubur dan
menghancurkan bangkai sel-sel darah merah itu dikerjakan di limpa.
Tapi, karena
limpa saya terus membesar, sel-sel darah putih yang baik pun ikut dikubur oleh
organ itu. Makanya, saat itu jumlah darah putih saya terus menurun. Sementara
bangkai sel-sel darah merah makin bertambah. Jadi, ke mana bangkai-bangkai
darah merah tersebut? Itu juga membuat problem sendiri pada tubuh saya.
Karena darah
putih yang sangat kurang itu, saya akan sangat gampang terkena virus. Daya
tahan tubuh saya sangat menurun. Seharusnya kadar darah putih saya minimal 200.
Saat itu tinggal 60-an. Kalau turun 10 poin lagi, saya sudah tak bisa bertahan
dari infeksi. Padahal, saat itu, platelet saya juga terus menurun. Sehingga,
sewaktu-waktu saya terancam mengalami pendarahan dari mana saja: dari mulut,
hidung, telinga, bahkan dari lubang kemaluan. Semua itu gara-gara liver yang
sirosis.
Ada yang lebih
berbahaya lagi. Seperti yang sudah saya singgung sebelum ini, darah-darah yang
mbendal itu juga memenuhi saluran percernaaan saya (varises esofagus).
Akhirnya, dinding-dindingnya berubah jadi balon-balon berisi darah. Setiap saat
bisa pecah. Misalnya, hanya karena terkena benda tajam seperti keripik atau
tulang ikan atau roti kering. Karena itu, saya pernah takut makan ikan. Takut
tulang-tulang kecilnya masuk ke tenggorokan, lalu melukai dan menusuk
balon-balon itu. Saya bisa mati hanya oleh satu tulang ikan yang amat kecil.
Jadi, meski
mungkin saya bisa membunuh sel-sel kanker dengan TACE dan berhasil memperlambat
proses kerusakan total liver oleh sisrosis, proses kerusakan di organ lain
ternyata tak bisa saya hentikan. Kecuali liver saya segera baik. Dan, untuk
itu, cuma ada satu jalan: transplantasi liver.
Maka, status
kata "transplan" pun meningkat dalam pikiran saya. Dari sekadar tamu
yang sedang mampir menjadi penghuni utama. Lalu, bulatlah tekad saya: ganti
liver.
"Tapi,
kalau gagal gimana?" tanya kubu yang anti-transplan di tim saya.
"Bukankah terlalu banyak contoh transplan yang gagal?" tambahnya.
Kegagalan
transplantasi yang dilakukan tokoh Nurcholish Madjid (Cak Nur) sungguh menjadi
alasan pembenar yang kuat sekali bagi kubu yang tidak setuju transplantasi.
Kuat secara psikologis. Bukan secara rasional-teknis-medis.
Saya sudah biasa
menghitung komposisi psikologis dan rasionalitas dalam setiap mengambil
keputusan. Bahkan, saya sering merenungkan (yang sampai sekarang belum sampai
pada kesimpulan) soal yang rumit dan peka ini: khusyuk itu gejala religi atau
gejala psikologi? Mengapa ada orang yang mudah khusyuk? Tapi, mengapa banyak
juga yang sulit khusyuk? Sampai-sampai, ketika memulai sembahyang harus
mengulangi takbir berkali-kali? Mengapa ada orang yang mudah menangis ketika
berdoa? Mengapa ada yang tidak bisa menangis? Gejala agamakah? Gejala
psikologiskah?
Saya bukan ahli
psikologi. Juga bukan ahli agama. Tapi, sudah pasti pertimbangan yang lebih
didominasi perasaan, saya kalahkan. Secara tidak formal, saya memang membentuk
dua tim. Satu yang punya pendapat jangan transplan. Satunya lagi yang
pro-transplan. Saya ingin mendapat pertimbangan yang arahnya berlawanan.
Tim yang
pro-transplan mengemukakan, memang transplantasi Cak Nur gagal. Tapi,
penyebabnya kan jelas: virus Citomegali. Virus yang munculnya hanya dalam kasus
transplantasi.
Tapi, bisa saja
karena kondisi Cak Nur sendiri yang memang sudah lebih parah daripada kondisi
saya saat ditransplan. Artinya, mungkin telanjur sangat parah. Kita tidak tahu
pastinya. Dan "kubu anti-transplan" di tim saya juga tidak tahu
mengapa Cak Nur gagal.
"Pak Dahlan
pun, kalau misalnya kankernya sudah sampai di vena porta (pembuluh darah balik
yang utama di liver), mungkin juga akan lebih sulit," kata pro-transplan.
Atau, kalau ginjal dan paru sudah ikut rusak. Atau, ketika air sudah memenuhi
rongga perut (ascites). Atau, ketika membran selaput dada sudah kena infeksi.
Tapi, kubu
"anti-transplan" di tim saya masih punya alasan lain.
"Katakanlah transplantasinya berhasil. Akan bisa bertahan hidup berapa
tahun lagi?" katanya seperti sedang mulai memberikan pukulan tinju kepada
tim saya yang pro-transplan.
Apakah tidak ada
bibit kanker yang akan mbalik ke liver baru? Apakah bibit virus hepatitis B
yang sudah ikut beredar di darah tidak menjangkiti liver baru? Lalu jadi
sirosis lagi? Jadi kanker lagi?
"Katakanlah
setelah transplan masih bisa hidup lima tahun lagi. Seperti kata dokter di
Singapura itu. Apakah kalau tidak ransplan tidak bisa bertahan lima tahun lagi?
Dengan obat-obat yang kian maju?" tanya tim yang anti-transplan.
Bertubi-tubi
ayunan tinju dihokkan ke wajah tim yang pro-transplan. Lalu, ditutup dengan
pukulan upper-cut yang telak: sama-sama bisa bertahan lima tahun, mengapa harus
berjudi dengan transplan?
Sebagai dewan
juri yang harus adil, saya melihat tim pro-transplan sempoyongan. Sampai mau
terlempar dari kanvas. Tapi, tali ring menyelamatkannya: Tapi, apakah kita
harus membiarkan Pak Dahlan selama lima tahun menjalani kehidupan dengan
kualitas yang buruk? Harus selalu dikemo, di-TACE, keluar-masuk rumah sakit,
tidak bisa makan enak, tidak bisa bekerja dengan baik? "Itukah hidup?
Untuk apa hidup kalau kondisinya harus tersiksa seperti itu?" serang tim
pro-transplan tiba-tiba.
Kedua tim masih
akan terus bertinju. Tapi, bel sudah menunjukkan bahwa waktu sudah habis.
Pemenang sudah harus ditentukan sebelum salah satunya KO.
"Saya
mantap dengan transplan," kata saya.
Semua diam.
Keheningan terpecah oleh suara salah satu tim pro-transplan. "Memang peran
pasien sendiri amat menentukan. Kalau kita paksakan transplan tapi pasien tidak
mantap, juga tidak boleh. Kemantapan tekad pasien akan menjadi kunci suksesnya.
Begitu pasien ragu-ragu, kita sudah tiba pada kesimpulan transplantasi akan
gagal," katanya.
"Ya. Saya
mantap transplan. Dengan segala risikonya," kata saya. (Bersambung)
September 16,
2007
Ingin Naikkan
Albumin, Berburu Banyak Ikan Kutuk
Pengalaman
Pribadi Menjalani Transplantasi Liver (22)
Oleh :
DAHLAN ISKAN
Email:
iskan@jawapos.co.id
SMS: 081 331 313
373
SETELAH hati
mantap melakukan transplantasi, barulah saya menentukan langkah. Ada tiga yang
harus dipertimbangkan. Kehebatan dokter, kesediaan donor, dan ketepatan rumah
sakitnya. Dari situ baru kami tentukan tempatnya. Tiga faktor itu saya sebut
sebagai "persyaratan mutlak". Lalu masih ada sejumlah
"persyaratan keinginan". Misalnya, kedekatan dengan Indonesia,
kedekatan budaya, dan kedekatan bahasa.
Saya sudah
terbiasa, dalam setiap akan mengambil keputusan, menjalankan satu proses yang
disebut problem solving. Satu proses untuk melakukan pembobotan dan penilaian
atas semua pilihan. Lalu mengalikan bobot dan nilai. Hasil perkalian tertinggi,
itulah pilihan terbaik. Saya pernah disekolahkan untuk itu di Lembaga
Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) ketika saya masih jadi wartawan
majalah berita mingguan TEMPO.
Proses manajemen
itu kemudian saya bawa juga ke dalam jurnalistik. Saya ajarkan sebagai doktrin
di Jawa Pos. Itulah yang membedakan wartawan Jawa Pos dengan wartawan lain.
Wartawan Jawa Pos harus menjalankan ’10 rukun iman’ atau ’Ten
Commandments" yang saya tentukan. Itulah salah satu sumbangan ilmu
manajemen ke dalam praktik jurnalistik di Jawa Pos. Tentu hal ini tidak
diajarkan di fakultas publisistik atau di akademi wartawan. Mungkin tidak akan
diakui sebagai salah satu teori jurnalistik, tapi saya tidak peduli.
Proses yang sama
saya terapkan dalam melakukan analisis problem-solving atas tekad saya yang
sudah mantap melakukan transplantasi liver. Maka, tim menyeleksi dokter-dokter
ahli transplantasi di dunia: Australia, Amerika, Jepang, Singapura, Belanda,
dan Tiongkok. Dari masing-masing negara kita pilih satu nama. Kita pelajari
track record-nya. Juga, terutama, umurnya. Saya ingin dokter yang
berpengalaman, tapi masih muda. Tangan anak muda, menurut logika saya, akan
lebih firm ketika memegang pisau bedah. Saya memang sangat pro anak muda. Saya
percaya hanya yang muda yang bisa diajak balapan di segala bidang.
Dari proses
itulah lantas kami pilih dokter ini. Umurnya masih 52 tahun dan badannya tinggi
tegap. Penampilannya meyakinkan. Urat-uratnya kukuh, mengindikasikan akan kuat
dalam menghadapi tekanan mental maupun fisik. Pengalamannya juga luar biasa.
Sudah melakukan tranplantasi liver lebih dari 500 kali. Bahkan, sudah
membukukan beberapa rekor: Rekor terbanyak, rekor transplantasi tanpa transfusi
darah, rekor transplantasi untuk pasien usia dini (3 tahun), transplantasi
untuk pasien tertua (76 tahun). Dia memperoleh pendidikan khusus untuk ini di
Jepang. Boleh dikata, dialah dokter Tiongkok yang paling jago di bidang
transplantasi liver.
Tapi, masih ada
satu yang meragukan. Padahal, yang saya ragukan ini masuk dalam ’persyaratan
mutlak’. Artinya, mau tidak mau harus dipenuhi. Kalau hanya masuk ’persyaratan
keinginan’, barangkali bisa diabaikan. Apa itu? Tempat! Apakah di Tiongkok ada
rumah sakit yang bagus sekali? Bukankah rumah sakit di sana terkenal joroknya?
Untuk ini Robert
Lai memeriksa rumah sakit tempat dokter itu berada. Yakni, di satu kota di
belahan utara Tiongkok. Untuk Indonesia kota ini tidak populer, tapi saya sudah
mengenalnya dengan sangat baik. Berkali-kali saya ke kota itu. Kunjungan
pertama saya ke sana sekitar 10 tahun lalu.
Hasil kunjungan
Robert Lai sangat memberi harapan. Khususnya tower yang baru. Sangat bersih dan
terawat. Alat-alatnya juga amat modern. Dan, reputasinya yang tinggi sebagai
pusat transplantasi liver sudah sangat terkenal. Saya sendiri pun lantas
mengunjunginya. Saya langsung jatuh cinta pada kunjungan pertama. Hati saya
mantap sekali.
Masih juga ada
satu pertanyaan: maukah dia menangani saya? Ada waktukah dia? Inilah tugas
Robert berikutnya. Dan, dia selalu berhasil menjalankan misinya. Maka sudah
tidak tengok sana-sini lagi: Di sinilah saya akan melakukan transplantasi
liver. Saya mengenal baik kotanya, mengenal baik budayanya, dan sedikit banyak
sudah bisa berkomunikasi dengan bahasanya.
Sungguh tak
terbayangkan bahwa tekad saya untuk belajar bahasa Mandarin lima tahun lalu
ternyata saya sendiri yang akan memetik manfaat terbesarnya. Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana kalau saya tidak bisa sedikit-sedikit berbahasa
Mandarin.
Memang, sebagaimana
yang dilakukan orang-orang Jepang dan orang dari negara-negara Arab, bisa saja
mempekerjakan juru bahasa. Namun, tidak akan semulus kalau diri sendiri yang
tahu bahasa itu. Bahkan, karena hampir selalu berbahasa Mandarin, saya sering
tidak dianggap orang asing. Apalagi sosok saya yang sosok Asia. Bahwa kulit
saya agak hitam, banyak juga orang dari wilayah selatan atau dari Hainan yang
juga berkulit seperti saya.
Robert juga
langsung memesan kamar terbaik, yang ada ruang tamunya, dapurnya, saluran internet-nya.
Dia tahu saya tidak akan bisa hidup tanpa jaringan internet. Robert juga
langsung menyewa apartemen untuk setahun, membeli mobil, mencari sopir,
pembantu rumah tangga, dan juru masak. Dia tahu belum tentu transplantasi bisa
dilakukan segera. Problem transplantasi adalah di kesediaan donor. Masa
menunggu tidak bisa ditentukan.
Keluarga saya,
dan juga Robert, tinggal di apartemen. Saya tinggal di rumah sakit. Istri saya
tidur di ruang tamu. Untuk membunuh waktu saya memutuskan meneruskan belajar bahasa
Mandarin. Dua kali sehari. Pagi 2 jam, sore 2 jam. Guo Qiang mencarikan
gurunya: tiga gadis yang masih kuliah di tahun terakhir IKIP setempat.
Istri saya
sering melihat bagaimana saya belajar. Lalu dia sumpek sendiri membayangkan
sulitnya. Dia memilih mendengarkan lagu-lagu kasidah dari CD yang dia bawa.
Atau mendengarkan ayat-ayat Alquran yang kasetnya dia beli di Makkah. Yakni,
ayat-ayat mulai Al Fatihah sampai terakhir surat An Nas dari imam salat tarawih
di Masjidilharam. Sudah beberapa tahun saya dan istri selalu di Makkah saat
akhir Ramadan.
Kalau akhir
pekan, saya pamit ke kota lain. Saya tahu tidak ada operasi pada Sabtu dan
Minggu. Pada hari-hari seperti itu saya terbang ke provinsi lain. Saya boleh
terbang-terbang asal masih dalam radius empat jam penerbangan. Maksudnya, kalau
ada sesuatu yang mendadak (misalnya, tiba-tiba ada donor), saya bisa kembali
segera.
Badan saya
memang sangat sehat secara fisik lahiriah. Karena itu, saya sering lupa kalau
di lengan saya sudah dipasangi selang kecil yang ujungnya ada di dekat jantung.
Selang infus itu diperlukan kalau tiba-tiba harus transplan, sudah lebih siap.
Suatu saat saya
ke Kota Dalian, satu jam penerbangan dari kota ini. Di salah satu plaza di
sana, ada penjual raket squash dengan bola yang diikat tali karet. Kita bisa
mencoba main squash tanpa harus lari-lari mengejar bola. Saya lupa akan selang
infus di lengan saya. Saya main squash cukup lama. Keesokan harinya lengan saya
sakit sekali. Sepanjang selang itu (mulai dari lengan sampai dada) kemeng
sekali.
Suatu malam saya
tidak bisa tidur. Pasien dari negara Arab di sebelah kamar saya
berteriak-teriak sepanjang malam. Apakah dia sudah terkena kanker? Apakah
kankernya sudah sampai ke kepala sehingga mengganggu otaknya?
Paginya dia
berteriak-teriak lagi. Saya mencoba menengoknya. Tahulah saya bahwa dia masih
diikat di ranjang. Ini penting untuk kesehatannya sendiri. Ternyata dia
berontak karena ada janji, pagi-pagi ikatan sudah akan dilepas. Tapi, ternyata
tidak. Rupanya rumah sakit masih khawatir dia akan berontak sehingga terus
diikat. Siangnya, saya tahu lebih jelas mengapa dia berontak. Ini saya ketahui
setelah saya bicara kepadanya dalam bahasa Arab. Dia memang tidak bisa
berbahasa Inggris. Bahasa Arab saya sudah banyak yang hilang sehingga perlu
waktu lama untuk mengingat banyak kata yang jarang dipakai.
Ternyata pasien
itu ingin menelepon keluarganya, tapi tidak diizinkan. Yang tidak mengizinkan
adalah kerabat yang menunggunya. Mungkin untuk menghemat pulsa, mungkin juga
karena sering telepon memang tidak baik bagi pasien seberat dia.
Ketika
penunggunya lagi pergi, dan melihat saya bisa bicara Arab, dia minta tolong
saya untuk memberi tahu perawat agar membantunya menelepon keluarga. Dia lantas
menyodorkan hand phone yang rupanya tidak dibawa pergi oleh penunggunya.
Ternyata dia juga sudah mengantongi secuil kertas lusuh berisi nomor telepon.
Tapi,
angka-angka itu angka Arab. Dia mendiktekannya ke suster dengan bahasa Inggris
yang amat tidak jelas. Tapi, setiap kali nomor itu dihubungi selalu gagal
nyambung. Dia mulai kesal dan uring-uringan. Akhirnya saya rayu dia untuk
memberikan cuilan kertas itu. Tahulah saya bahwa angka yang dipijit kurang satu
digit. Mengapa? Ini karena ada satu titik di belakang angka-angka itu. Suster
tidak tahu dan pasien juga tidak jelas melihatnya. Saya menyarankan agar
menambah "nol" di pijitan terakhir. Titik, dalam huruf Arab, berarti
nol. Ternyata nyambung. Luar biasa senangnya.
Sambil menunggu
dan menunggu, saya terus menjaga kondisi. Badan saya harus sehat. Saya
melakukan senam dan tidak mengenakan baju pasien. Para suster bilang bahwa saya
ini bukan seperti orang sakit. "Saya memang tidak sakit. Saya hanya perlu
transplantasi liver," gurau saya kepada mereka.
Dalam masa
penantian itu saya tidak boleh terkena flu. Karena flu saja bisa mengurangi
potensi kesuksesan transplantasi. Saya juga harus menjaga agar protein di darah
saya, terutama albumin, tidak terus merosot. Untuk menambah protein banyak
sumbernya. Mulai daging, putih telur sampai ikan. Tapi, meningkatkan albumin
luar biasa sulitnya.
Berminggu-minggu
kami mendalami internet untuk mengetahui makanan apa saja yang bisa menaikkan
albumin. Tidak ketemu. Di Tiongkok, yang biasa menyediakan menu ribuan macam di
internet mereka dalam bahasa Mandarin, juga tidak ditemukan satu pun jenis
makanan yang dimaksud. Satu-satunya sumber albumin adalah sahabat kecil saya
dulu di desa: ikan kutuk. Di Kalimantan disebut ikan gabus. Dalam bahasa
Inggris dikatakan "ikan kepala ular", karena bentuknya seperti ular
yang amat pendek.
Saya menghubungi
guru besar Unibraw, Malang, Prof Eddy Suprayitno. Satu-satunya orang yang
melakukan penelitian terhadap ikan kutuk. Setelah penjelasannya meyakinkan,
mulailah saya minta istri saya berburu kutuk setiap hari. Penjual ikan di Pasar
Rungkut hafal betul dengan istri saya. Entah sudah berapa ton saya mengonsumsi
sop kutuk.
Saya lupa
bertanya apakah Prof Suprayitno sudah mematenkan penelitiannya dan
memikirkannya untuk sebuah industri. Yang saya tahu kehidupan Prof Suprayitno
amat sederhana, sebagaimana umumnya guru besar di Indonesia.
Di Tiongkok,
peneliti seperti itu jadi kaya raya. Satu orang yang meneliti satu jenis
tanaman liar yang disebut ’tear drop’ (di desa saya dulu disebut manikan,
sering untuk tasbih) kini menjadi orang terkaya nomor 200 di Tiongkok. Sebab,
buah manikan ternyata mengandung khasiat antikanker. Seorang peneliti padi yang
dulu hidup di desa selama 20 tahun, kini menjadi pemegang saham perusahaan
pembibitan dengan aset triliunan rupiah.
Ikan kutuk
ternyata tidak ada di tempat lain. Jadi amat berharga. Tapi, karena saya akan
tinggal lama di Tiongkok, tentu saya akan kesulitan membawa kutuk ke sana. Lalu
muncul di pikiran, masak tidak ada kutuk di Tiongkok. Maka saya mencari kutuk
di sana. Di setiap kota yang saya singgahi saya perlukan untuk mengunjungi
pasar ikannya: di Nanchang, di Nanjing, di Wuhan, di Harbin, di Dalian, di
Qingdao, dan seterusnya. Tapi, saya tidak menemukannya.
Di Nanchang,
teman saya di pelosok desa mengabarkan di desanya banyak ikan kutuk. Saya
pernah ke desa itu sebelum tahu bahwa saya punya sirosis. Ketika saya ke
Nanchang, dia datang dengan bapaknya sambil membawa satu ember ikan. Dia naik
kendaraan umum selama satu jam untuk bisa sampai ke kota. Bapak teman saya,
dengan bahasa daerah yang tidak saya mengerti, menjelaskan panjang lebar
bagaimana satu hari tadi dia berusaha mencari ikan satu ember itu.
Saya berterima
kasih padanya. Saya mengatakan "benar", itulah ikan yang saya cari.
Tapi, sebenarnya bukan. Bentuknya memang persis kutuk, tapi bukan kutuk.
"Kutuk Tiongkok" ini lebih hitam. Karena itu, di sana disebut
"hei yu" -"hei" artinya hitam, "yu" artinya, Anda
bisa menduga sendiri. Kandungan daging "hei yu" tidak sama dengan
kutuk di Jawa.
Di Kalimantan
lebih lengkap. Kutuk, yang di sana disebut ikan gabus, sangat banyak. "Hei
yu" juga banyak. "Hei yu", yang kalau di Kalimantan disebut ikan
tomang, juga bisa tumbuh besar sampai kuat merusak perahu kayu kecil-kecil.
Tapi, dagingnya hambar. "Hei yu" di Kalimantan lebih banyak dimanfaatkan
untuk ikan asin. Sedangkan ikan gabus yang manis, enak sekali dimasak bumbu
bali, dimakan dengan nasi kuning.
Selama di
Tiongkok saya kesulitan sumber albumin ini. Padahal, mempertahankan albumin
menjadi amat penting. Dalam keadaan normal, liver bisa memproduksi albumin.
Tapi, karena liver saya rusak, sungguh sulit mengatasinya. Akhirnya, agar badan
tetap sehat, saya memutuskan untuk selalu makan banyak. Enak tidak enak sudah
tidak penting lagi. Badan saya harus sehat menghadapi operasi besar. Ibaratnya
saya harus seperti kerbau yang akan dijual untuk disembelih: Harus sehat dan
gemuk. (bersambung)
Saya Fatimawati, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS.Who yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah QUALITYLOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu. Tapi qualityloan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: qualityloanfirm@asia.com. Email pribadi saya sendiri: fatimatu.said99@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati
ReplyDelete